Breaking News

Sejarah bojonegoro

 hay kawan bertemu lagi sama saya di blog wawan nadi sekarang saya akan sedikit bercerita tentang sejarah yaitu sejarah kenapa dinamakan kota bojonegoro jadi selamat membaca 

Dalam literatur kolonial Belanda, Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Jawa. Tanahnya tandus dan hampir tidak ada irigasi……lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk…daerah yang subur di dekat Bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir selama musim hujan. (CLM Penders (1984), Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-east Java-Indonesia)
Tulisan ini mengangkat proses transformasi Bojonegoro dari sebuah kabupaten yang kecil dan miskin, menjadi sebuah kabupaten bisa berdiri tegak dengan kemandirian dan kerja keras pemerintah dan masyarakatnya. Transformasi ini merupakan proses panjang dari titik minus, nol, dan plus. Minus adalah masa lalu, nol adalah proses pembangunan masa kini, dan plus adalah Bojonegoro pada masa depan.   
Kota Bojonegoro adalah kota peradaban yang dilalui sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo. Hampir sebagian hewan purba mendiami bantaran Bengawan Solo. Hingga kini fosil hewan purba di Bojonegoro berlimpah di sepanjang Bengawan Solo. Bengawan Solo pada masa lalu bukan hanya sebagai jalan transportasi saja tapi juga sebagai pusat peradaban. 
Hasil gambar untuk bengawan solo bojonegoro
Bojonegoro pada awalnya bernama Rajekwesi. Pusat pemerintahan pertama adalah Jipang, yakni mencakup Cepu dan Padangan. Lokasinya di sepanjang Bengawan Solo bagian barat Bojonegoro.
Bengawan Solo yang menghantarkan para pedagang dari Tiongkok, Kerajaan Demak, dan Majapahit berdagang dengan orang Bojonegoro. 

Bengawan Solo juga yang menghantarkan Sasradilaga menyerang Rajekwesi yang dikuasai Belanda. Lalu Belanda dipukul mundur. Terjadi genjatan senjata. Belanda akhirnya mengganti nama Rajekwesi dengan nama Bojonegoro. Kekalahan yang memalukan Belanda lalu membuat Belanda mengganti nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro.
Lalu mengapa Belanda tertarik menguasai Bojonegoro? Jawabnya  karena Bojonegoro memiliki sumber daya alam melimpah. Bojonegoro memiliki minyak, jati, tembakau, dan lahan yang subur saat itu. Kesuburan lahan itu disebabkan adanya Bengawan Solo, dan kecocokan lahan ditanami tanaman yang produktif dan diminati pasar Eropa saat itu, seperti jati dan tembakau.
Meski berlimpah sumber daya alam, masyarakat Bojonegoro masa lalu masih terjerat kemiskinan, pemerintahan yang tidak berpihak rakyat. Akibatnya, hingga 2007 Bojonegoro adalah kabupaten termiskin nomer 3 di Jawa Timur. Bahkan CLM Penders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia menyebutkan bahwa kemiskinan Bojonegoro sudah sangat mewabah. Tanah yang gersang dan sulit ditanami tumbuhan, tanaman di bantaran Bengawan Solo yang diterjang banjir. 
Penders mengilustrasikan bahwa kemiskinan di Bojonegoro pada 1900-1940 seperti kemiskinan oleh warga Rangkasbitung di Lebak dalam buku Max Havelaar karya Multatuli. Dimana-mana rakyat miskin. 
 Bahkan saat zaman pembangunan orde baru, Bojonegoro nyaris tak tersentuh pembangunan yang berarti. Rakyat masih miskin, infrastruktur jalan yang rusak dari mulai poros kabupaten hingga desa dan lingkungan.  Kelas sekolah banyak yang rusak. 
Pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah, darimana sebenarya akar kemiskinan di Bojonegoro? Saya teringat catatan CLM Panders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia. Dalam versi Indonesia yang diterjemahkan secara pribadi oleh Albard Khan, buku itu berjudul Bojonegoro 1900-1942 Kisah Kemiskinan Endemik Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. 
Kemiskinan seperti telah menjadi bagian dari sejarah Bojonegoro. Dari dulu tanah Bojonegoro dikenal tandus karena mengandur kapur. Bukan hanya itu, persoalan banjir ternyata bukan hanya dalam dekade terakhir ini saja. Namun, sudah ada sejak akhir abad 18 dan diawal abad 19.     
Ironisnya, Penders dalam salah satu bab dalam buku itu menyebut kondisi Bojonegoro seperti di Lebak kedua, Jawa Barat. Jika Anda pernah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli atawa Douwes Dekker maka Anda tahu cerita kemiskinan yang dialami Saijah dan Adinda  di Rangkasbitung Kabupaten Lebak. Miskin, terlantar dan dieksploitasi oleh VOC. 

Namun, Bojonegoro agak beruntung dibandingkan Rangkasbitung, tanah yang tandus karena berkapur masih menjadi berkah bagi masyarakat. Lahan yang keras itu ternyata cocok untuk palawija seperti jagung dan tembakau.  Dalam catatan Penders, tanaman tembakau yang menjadi andalan Bojonegoro diperkirakan telah ada sejak abad 16. Tanaman itu dibawa oleh Portugis saat ke Indonesia. 
  Dalam catatan Penders menyebutkan, pemerintahan kolonial Belanda telah melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan masyarakat Bojonegoro dari jerat kemiskinan. Namun, pemerintah Belanda mengakui belum mampu menyejahterahkan rakyat Bojonegoro. Penyebabnya sederhana, mental birokrat yang bobrok dan kepicikan kaum pribumi. Kekayaan alam sebelum ditemukan minyak pada zaman kolonial yang melimpah, seperti hutan jati dan tembakau ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Bahkan, rakyat terjerat dalam belitan renternir Belanda dan pribumi kaya saat itu. 
*****
  Saya tidak tahu alasan persis Penders mengkaji kemiskinan Bojonegoro. Mengapa Penders tidak mengkaji Lamongan atau Tuban? Mengapa Bojonegoro? Hingga tuntas saya membaca catatan Penders, saya tak menemukan alasan baik secara sosiologis maupun kultural mengkaji Bojonegoro. Hanya di kata pengantar buku itu, Penders menyebutkan bahwa arsip yang berkaitan Bojonegoro di Departemen Tanah Jajahan Belanda jumlahnya sangat melimpah. Artinya, sebagai sebuah kajian keilmuan semata, arsip dan data sangat memadai sebagai bahan tulisan.      
  Dan harus diakui catatan-catatan Penders tentang Bojonegoro sangat detail. Dia mengaku tak pernah ke Bojonegoro. Catatan yang ditulis berdasarkan arsip dan surat kawat para pejabat Belanda di Indonesia dengan pemerintahan Belanda.
  Ada sejumlah penyebab Bojonegoro mengalami kemiskinan yang hebat saat itu, diantaranya minimnya irigasi, diskriminasi pendidikan, dan terjerat utang yang menumpuk kepada renternir.  Namun, bagi saya, Penders juga harus menambahi penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan. Ada diskriminasi kelas, antara priyayi dan rakyat jelata.   
  Penerapan kebijakan Politik Etis oleh Belanda sempat menyelamatkan Bojonegoro. Di bidang pertanian, Belanda membuat irigasi dengan membangun waduk Pacal pada 30 Agustus 1927 yang menelan biaya hingga 1,2 juta gulden. Di bidang pendidikan yang berhak menikmati pendidikan adalah anak-anak priyayi dan orang kaya. Sedangkan anak orang miskin dilarang sekolah. 
  Disisi lain Belanda juga mengenalkan sistem pembayaran berupa uang kepada rakyat Bojonegoro. Bukan hanya mengenalkan, Belanda juga meminjamkan uang melalui bank. Banyak rakyat tergiur meminjam uang di bank. Penders mencatat, Belanda memberikan pinjaman benih padi kepada rakyat di Baureno senilai 13 ribu gulden. Tapi, pinjaman itu terancam tak dapat dikembalikan karena  kondisi cuaca yang tak menentu. 
  Belanda akhirnya memberi pekerjaan kepada warga Baureno agar dapat mengembalikan pinjaman. Yakni, mengangkuti batu dari Gunung Pegat (lintasan Pegunungan Kendeng di Bojonegoro) untuk membangun jalan. Jika tak keliru , Gunung Pegat berada di jalur Babat-Jombang. Hingga sekarang sisa-sisa peninggalan Belanda masih ada di Gunung Pegat yang membujur hingga Desa Gunungsari Bojonegoro.
  Rakyat yang rata-rata petani terjerat utang karena bunga bank sangat tinggi. Penyebabnya, hasil dari pertanian impas bahkan kurang dari hasil pertanian yang diperoleh. Bukan hanya itu pejabat kolonial dan administratur bank juga banyak yang korup. Sehingga makin mencekik rakyat Bojonegoro yang meminjam uang kepada bank.
                        ***     
 Dalam kesempatan perbincangan dengan saya, Bupati Bojonegoro Suyoto mengaku dirinya berkaca dari buku Penders itu untuk mengambil kebijakan politik kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Bentuk kemiskinan pada zaman kolonial yang dialami rakyat Bojonegoro seperti dalam catatan Penders tak jauh berbeda dengan terjadi saat ini. Beruntung kebijakan Belanda saat itu  masih ada yang berpihak kepada rakyat. Yakni, dengan membangun waduk Pacal. Pertanian Bojonegoro pun hingga kini terselamatkan.    
 Belanda juga membangun transportasi kereta api. Beruntungnya Bojonegoro termasuk stasiun besar. Jadi sebagai stasiun utama. Jalur KA inilah digunakan untuk mengangkut jati, tembakau dan hasil perkebunan lainnya ke Semarang. Dari Semarang lalu dikirim ke Eropa.
Bukan hanya itu, mengentaskan kemiskinan juga bukan soal memberikan pancing dan kail. Tapi, bagi saya, adalah memperbaiki mental. Dari mental peminta menjadi pendaki. Untuk itu butuh revolusi kebudayaan.  Ujungnya adalah menjadikan warga ini bermental pemberi. Dalam bahasa agama, adalah sedekah. Semakin banyak kita memberi maka semakin banyak kita akan menerima.
 Namun, lagi-lagi urusan revolusi kebudayaan bukan hanya fisik, tapi mental. Karena kegagalan kolonial Belanda saat itu  bukan karena kebijakan yang buruk tapi mental birokrat, legislator serta priyayi yang buruk dan korup.  Kalau mental peminta baik birokrat, legislator maupun rakyatnya ini masih belum berkurang maka revolusi kebudayaan pun tinggal papan nama. 
   Penanganan kemiskinan bukan sekadar slogan dan retorika serta angka saja. Namun, butuh langkah kongkret yang langsung dirasakan masyarakat. Dan jauh lebih penting adalah menciptakan birokrat yang bersih dan benar-benar melayani rakyat.

Bojonegoro Masa Kini
Pada Maret 2007 melalui pilkada langsung dan demokratis, Suyoto atau akrab yang dipanggil Kang Yoto terpilih sebagai bupati. Kang Yoto dan  Kang Hartono yang hanya didukung 7 kursi di DPRD, mampu mengalahkan calon incumbent yang diusung oleh lebih dari 14 kursi. Pilkada yang langsung dipilih rakyat mampu menjaring pemilih yang berbobot. Siapapun memiliki peluang untuk mengabdi kepada rakyat. Pilkada langsung inilah yang membuat Kang Yoto berkomitmen langsung kepada rakyat. 
Komitmen pertama adalah menjamin para birokrasi bekerja keras melayani rakyat. 
Komitmen kedua adalah menjamin bahwa anggaran untuk kepentingan rakyat. 
Komitmen ketiga adalah transparan semua kebijakan dan rakyat dapat bertemu langsung bupati. Salah satu program transparansi kebijakan tersebut, yakni Dialog Jumat yang sudah mulai periode pertama hingga periode kedua kepemimpinan Kang Yoto saat ini. 
Perbaikan pertama yang dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur  jalan rusak. Pilihannya adalah menggunakan paving. Mengapa paving? Karena paving cocok dengan tanah Bojonegoro yang bergerak. Bukan hanya itu, pengerjaan paving juga membuka lapangan pekerjaan yang luas kepada masyarakat. 
Hasilnya dari jalan poros desa hingga kabupaten yang rusak, kini tinggal sekitar 10 persen.
Bukan hanya jalan raya saja yang diperbaiki. Kini ke akses ke Bojonegoro jauh lebih mudah dan cepat. Salah satunya, jalur rel ganda yang melalui Bojonegoro. Dari Jakarta ke Bojonegoro naik kereta jauh lebih nyaman dan cepat dibandingkan dulu. 
Dari jalan lalu tumbuhlah ekonomi. Batik yang khas Bojonegoro mulai dikenalkan. Muncullah warga yang memproduksi batik Jonegaran. Batik Jonegoro mulai diminati warga Bojonegoro. Wong Jonegoro merasa bangga menggunakan batik Jonegoro. Batik Jonegoro juga sudah menjadi seragam wajib bagi siswa dan para pegawai. Batik Jonegoro menjadi kebanggaan warga Bojonegoro.
Warga Bojonegoro yang dikenal ulet dan pekerja keras tak menyerah begitu saja dengan kondisi alam yang keras Pertanian juga mulai tumbuh pesat dengan adanya embung di berbagai pelosok Bojonegoro. Bukan hanya padi saja, tapi juga tanaman lain, seperti jagung, kedelai, bawang merah menjadi komoditas yang dihasilkan warga Bojonegoro.
Berkah migas juga membawa dampak positif yang signifikan kepada Bojonegoro. Efek domino ekonomi dari migas menumbuhkan ekonomi baru bagi Bojonegoro. Dari mulai usaha hotel, restoran, UMKM tumbuh, dan usaha lain yang menyerap tenaga kerja yang tak sedikit. 
Keberhasilan ekonomi Bojonegoro yang terus tumbuh juga didukung oleh kebersamaan warga Bojonegoro yang plural. Bojonegoro yang sejak dulu menjadi wilayah jalur ekonomi melalui Bengawan Solo didatangi oleh berbagai warga yang memiliki latar beragam. Kondisi Bojonegoro yang plural dan warganya mampu hidup harmonis inilah yang menjadi modal sosial berharga dalam pembangunan di Bojonegoro.
Kerja keras pemerintah dan masyarakat Bojonegoro ini tak sia-sia. Bojonegoro mendapatkan berbagai prestasi, bukan hanya regional, dan nasional tapi juga di tingkat internasional. 
Masa Depan Bojonegoro 
Muncul pertanyaan, bagaimana potret Bojonegoro 20 tahun hingga 30 tahun kedepan? Apakah masyarakatnya akan jauh lebih makmur atau akan semakin mundur? 
Saat ini jumlah penduduk Bojonegoro sekitar 1,2 juta jiwa. Pada 20-30 tahun mendatang, jumlah penduduk dipastikan bertambah. Mungkin 2-3 juta jiwa. Basis utama ekonomi Bojonegoro saat ini adalah migas dan pertanian. Kedua basis ini menjadi sumber utama pendapatan pembiayaan ekonomi pembangunan. Lalu muncul tagline, Bojonegoro lumbung pangan dan energi.
Dari migas, Bojonegoro mendapatkan dana bagi hasil migas. Bisa saja pendapatan dari dana bagi hasil migas akan berkelanjutan hingga 30 tahun mendatang. Namun, migas tentu saja ada batasnya. Pada 30 tahun mendatang, potensi migas di Bojonegoro akan semakin menipis. Jika semakin menipis, maka efek domino dari migaspun akan semakin berkurang. 
Tapi semoga saja, efek domino ekonomi ini akan bertahan lama. Sebab, letak Bojonegoro yang berada ditengah kawasan migas Blok Cepu, Blok Tuban, Blok Nona dan sebentar lagi ada Blok Blora. Meski belum miliki nama blok sendiri, Bojonegoro mendapatkan dana bagi hasil migas dari blok tersebut.  
Dan pertanian adalah sumber mata pencaharian utama dari masyarakat. Sebagai masyarakat yang agraris, Bojonegoro sampai kapanpun akan tergantung kepada pertanian. Saat ini, hampir 70 persen masyarakat Bojonegoro adalah petani. Namun, 30 tahun mendatang, bisa saja lahan pertanian akan semakin sempit. Sebab, luas lahan tak mungkin bertambah. Jumlah penduduk pasti bertambah. Otomatis lahan juga semakin berkurang. 
Apalagi lahan hutan bukanlah milik Bojonegoro tapi milik perhutani. Artinya, pertanian sesungguhnya bisa menjadi ancaman basis ekonomi juga berkurang.  
Lalu selain pertanian dan migas adakah sumber ekonomi lain agar pembangunan ini dapat berkelanjutan? Jawabnya adalah sektor jasa. Dapatkah Bojonegoro membangun sektor jasa? Bisa saja. Singapura sebelum menjadi raksasa ekonomi saat ini, dulunya masyarakatnya adalah petani kopra. Namun, pada 1970an, pemerintah Singapura belok haluan ke sektor jasa. Salah satu sektor jasa yang menjadi andalan Singapura adalah kesehatan. Rumah sakitnya dibangun mentereng. Dokternya adalah para ahli yang diakui dunia medis. Tak hanya itu, alat kesehatannya terlengkap didunia. Orang Indonesia yang berduit jika sakit pasti berobat ke Singapura. Bukan kesehatan, ikon kota itu penting. Maka dibuangunlah Orchard Street. 
Sejumlah merek ternama dari fashion hingga makanan membangun supermarket di Orchard Street. Dan yang jauh lebih penting dari sektor jasa adalah merawat kembali budaya dan sejarah. Rumah dan lokasi sejarah direstorasi kembali. Lalu menjadi sajian wisata yang menarik. Singapura juga membangun pendidikan mereka menjadi yang terbaik di Asia. 
Nah, kembali ke Bojonegoro, satu abad setelah tragedi kemiskinan ada 1900-1942, kini Bojonegoro memiliki visi besar. Yakni menjadi lumbung pangan dan energi negeri. Visi Bojonegoro ini menjadi sangat menarik. Mengapa? Karena visi ini jika berhasil maka Bojonegoro yang sangat miskin akan menjelma menjadi masyarakat yang sejahtera dalam waktu yang tak lama. 
Namun, tantangan mewujudkan visi itu cukup banyak, bukan hanya dari masyarakat yang apatis. Birokrat yang darahnya masih ada kultur Orde Baru juga menjadi tantangan yang cukup berat. 
Tantangan paling berat dan krusial adalah pasca kepemimpinan Kang Yoto. Pondasi yang sudah dibangun ini tentu diharapkan tak sia-sia. Namun, justru menjadi berkembang lebih berpihak kepada rakyat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat. 
Mungkin ini masih jauh waktunya. Tapi empat-lima tahun lagi bukan waktu yang lama. Pemimpin yang visioner dan berpihak kepada kepentingan rakyat harus mulai dikader mulai sekarang. 
Kue hasil bumi yang menggiurkan ini, di masa depan jangan hanya dinikmati oleh segelintir elit dan golongan saja. Pun jangan sampai persoalan kemiskinan lalu bergeser menjadi masalah ketidakadilan. 
A.    Bojonegoro Masa Pra Sejarah
1.    Masa Satu Juta Tahun Lalu
Bagaimana wajah Bojonegoro satu juta tahun lalu? Bojonegoro satu juta tahun lalu adalah lautan dalam. Buktinya, banyak ditemukan hewan yang hidup di laut. Salah satunya adalah molusca. Fosil molusca banyak ditemukan di Desa Soko Kecamatan Temayang. Jarak antara Desa Temayang dengan Bojonegoro sekitar 30 Km. Lokasi desanya bukan di tengah kota tapi di pelosok, masuk hutan. 
Bukan hanya fosil molusca saja yang membuktikan Bojonegoro pada masa lalu adalah molusca, tapi juga banyak peninggalan pra sejarah hingga kolonialisme Belanda yang banyak ditemukan di Desa Soko ini. 
Menuju Desa Soko diperlukan stamina yang cukup kuat. Desa ini terletak sekitar 20 Km dari Kecamatan Temayang. Arahnya, jika Temayang di pertigaan Desa Pajeng Kecamatan Gondang belok ke kiri. Dari pertigaan Desa Pajeng itu, jaraknya masih sekitar 8 Km. Sekitar 5 Km telah dipaving. Sisanya belum dipaving. Namun, sisanya jalan berbatu (makadam) dan harus pandai-pandai mencari jalan yang bagus. Bukan hanya itu, kondisi jalan juga masih naik turun yang cukup tajam sehingga perlu hati-hati yang ekstra. Perkampungan pertama yang ditemui  adalah Desa Pajeng, selebihnya adalah hutan jati dan non-jati jika ke Desa Soko.      
Sesampai di Desa Soko, suasana purba cukup terasa. Belasan batu menyerupai lumping diletakkan di depan Kantor Desa Soko. Batu yang cukup besar itu berdiameter 1 meter. Tingginya sekitar 0,5 meter. Ditengahnya berlubang. Ada yang masih utuh dan ada yang patah. Ada yang berukuran kecil. Batu menyerupai lumping itu ditemukan sejumlah warga desa setempat dari sawah dan sekitar perumahan mereka. Diperkirakan jumlahnya masih lebih banyak lagi yang masih tertimbun di persawahan desa setempat. Batu menyerupai lumpang itu diperkirakan peninggalan zaman Majapahit. 
Ada dua kemungkinan, batu itu merupakan alat untuk menumbuk padi dan beras pada zaman kerajaan Majapahit. Selain itu, batuan itu merupakan tempat sesaji warga desa setempat yang diletakkan di persawahan desa setempat. Batuan tersebut diduga  tempat sesajen zaman Majapahit. Sesaji itu untuk persembahan Dewi Sri. 
Majapahit memilih lokasi ini sebagai tempat lokasi singgah sebab di desa ini ada mata air. Mata air itu letaknnya ditengah sawah yang dikelilingi hutan. Airnya sangat jernih dan tak pernah habis meski di musim  kemarau. 
Selain, batuan berbentuk lumpang yang ditemukan.  Desa ini juga kaya peninggalan purba peninggalan sekitar jutaan tahun lalu, seperti batuan karang. Padahal batuan karang itu hanya ditemukan di daerah sekitar laut. Tapi di Desa Pajang batuan karang ini berserakan sangat banyak. Jika beruntung, maka akan ditemukan fosil purba baik itu udang besar (lobster) maupun fosil daun yang telah menyatu dengan batuan karang. Desa Soko diperkirakan pada satu juta atahun lalu lautan. 
Batuan karang itu digunakan sebagai pembatas tanah atau rumah oleh warga desa setempat. Batuan karang itu, juga digunakan oleh warga desa setempat pinggir rumah mereka.
Di Desa Soko Kecamatan Temayang bukan hanya peninggalan pra sejarah dan Majapahit, namun juga peninggalan kolonialisme Belanda. Buktinya, ditengah hutan di lereng pegunungan Kendeng ditemukan bekas bangunan yang sudah roboh. Bangunan itu diduga adalah bekas perumahan Belanda. Dugaan lain adalah bekas waduk yang dibangun Belanda. 
Kekayaan sejarah bukan hanya peninggalan para sejarah dan Majapahit. Tak jauh dari balai Desa Soko, terdapat makam Dampo Awang. Dia merupakan salah satu panglima perang dari pasukan Cheng Ho. Di samping balai desa juga ada rumah dalang khusus untuk ruwatan, Mbah Soekijah. Dalang tanpa gamelan ini sangat langka. Dia harus menjalani puasa 40 hari sebelum pentas dalang. 
Peninggalan sejarah bukan hanya ditemukan di perkampungan Desa Soko saja. Namun ditemukan juga di tengah hutan Desa Soko  yang berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk. Jumlah penduduk Desa Soko 2.470 jiwa, 783 KK, sedangkan luasnya sekitar  3.900 meter persegi. 
Desa Soko berbatasan dengan Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk. Dulu, Kecamatan Ngluyu masuk wilayah Bojonegoro. Namun, pada tahun 1900 oleh Kasultanan Jogjakarta kedua wilayah dipisah. Wilayah Ngluyu masuk Nganjuk, sedangkan Soko masuk Temayang (Bojonegoro). Kedua wilayah itu hanya dipisahkan dengan pegunungan Kendeng. Akibat pemisahan itu, salah satu makam Bupati Bojonegoro KRTM Sostrodiningrat saat ini berada di Dusun Cabean Desa Sugihwaras Kecamatan Ngluyu.   
Untuk ke pegunungan Kendeng, perjalanannya tak mudah. Lokasi gua dan peninggalan kolonialisme itu ke arah timur dari perkampungan Desa Soko.  Jalan pertama kami susuri adalah jalan tegalan sawah. Kami harus hati-hati melewatinya karena menggunakan motor. Setelah sawah, kami melewati hutan semak belukar. Sekitar 1 Km, kami tiba di jalan agak lebar sekitar 2 meter. Ada bekas ban. Berarti jalan tersebut dilewati kendaraan roda empat. Tapi kondisi jalannya rusak parah. Kami hanya melewati sisi tengahnya saja, karena kanan kiri cekungan dalam dan tak mungkin dilewati roda doa. Sekitar 2 Km, melintas jalan tersebut, kami berhenti. Sebab, jalan yang akan kami lewati, jalannya sangat jelek. Motor tak mungkin bisa melewatinya. Motor dikunci dan tinggal begitu saja di tengah hutan yang cukup lebat. Perjalanan kami lanjutkan jalan kaki. Dalam perjalanan, penunjuk jalan, Nur Salim bercerita, sepanjang perjalanan kami melewati hutan, dulu banyak ditemukan kuburan orang Majapahit. Di dalam kuburan itu, banyak ditemukan monte (perhiasan orang Majapahit yang dibawa mati). Cara menemukan kuburan Majapahit itu mudah, biasanya dipermukaan tanah ada kreweng (pecahan genteng). Monte itu lalu dijual oleh warga setempat.   
Sekitar 1 Km berjalan, akhirnya kami berhenti. Lalu kami masuk ke hutan. Nur Salim didepan kami membabat ilalang dan semak belukar. Sekitar satu jam mencari, kami tak menemukan bekas bangunan tersebut. Akhirnya, kami istirahat. Dan Nur Salim mencari bangunan bersama Suheri. Bangunan itu akhirya ditemukan, tapi sudah roboh. Tak ada yang yang tersisa dari bangunannya tersebut. Panjang bangunan yang roboh itu sekitar 30 meter.  Hanya terlihat permukaanya saja. Lokasinya, oleh warga setempat dinamakan, Sendang Mbeji. ‘’Kalau melihat bangunannya sudah ada semennya, maka ini diperkirakan  bekas bangunan Belanda,’’kata sejarawan lokal, Harry Nugroho.
Warga setempat, Sumardi mengaku  belum pernah mendengar cerita tentang bangunan di tengah hutan tersebut. Begitu pula, sekdes Soko Jauhari juga belum pernah mendengar cerita tentang bangunan tersebut. ‘’Tapi sendang Mbeji pada zaman dulu dikeramatkan oleh warga setempat,’’kata Sekdes Soko Jauhari.          
Tak jauh dari Sendang Mbeji, membentang pegunungan Kendeng yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Ngluyu. Di pegunungan Kendeng yang masuk wilayah Desa Soko ditemukan sedikitnya 9 gua. Dua gua yang terbesar adalah Gua Gogor dan Gua Gondel. Di Gua Gondel pernah ditemukan mahkota yang diduga milik raja. Mahkota itu berlapiskan emas. Namun, mahkota itu akhirnya raib dicuri orang. 
Potensi Desa Soko yang kaya dengan sejarah sudah seharusnya dikelola baik oleh pemerintah. Salah satnya, menjadikan Desa Soko ini sebagai  wisata sejarah.  
Bukti lain Bojonegoro pada satu juta tahun lalu adalah lautan adalah penemuan Fosil Ikan Paus di Kecamatan Temayang Bojonegoro. Diperkirakan usia 3 juta tahun lalu. Fosil ikan paus ini ditemukan kali pertama di di Indonesia  Fosil ikan paus ditemukan di Kali Jono Desa Buntalan Kecamatan Temayang. 
Banjir ternyata tak selamanya menjadi musibah. Bagi Supangat, seorang anggota TNI berpangkat serda di Kecamatan Temayang, banjir adalah berkah. Ditemukan pada 4 April 2012, Saat itu, Supangat sedang libur piket jaga di pos TNI Temayang. Dia ingin menyalurkan hobinya. Yakni mencari fosil. 
Pagi yang cerah usai menyelesaikan pekerjaan rumah. Dia melangkah  menuju Kali Jono yang tak jauh dari rumahnya.
Air sungai sedang dangkal. Kaki telanjangnya lincah melewati rerumputan dan tanah lempung berpasir menuju pinggir sungai. 
Tanah di pinggir sungai itu masih terlihat basah dan ditimbun tanah yang berpasir. Tanah yang basah itu adalah sisa banjir tumpahan air dari wilayah selatan.  
Di bibir sungai, kakinya melangkah pelan turun ke sungai. Lalu dia menelusuri sungai. Pandangan matanya terus mengarah ke bawah. Lalu disingkapnya, sampah daun. Matanya tertegun melihat bentuk bebatuan yang tak lazim. Dia mencoba meraba bebatuan itu. 
Dia yakin, itu bukan batu biasa. Itu fosil. Dugaannya tak meleset. Ternyata, bentuknya panjang. Lalu dia mencoba dengan pelan mengambil bebatuan itu. Satu per satu akhirnya terangkat. 
Setelah dilihat utuh, fosil itu seperti tulang punggung. Kalau tulang punggung berarti hewan vertebrata. Bukan hanya itu saja, disamping fosil itu ada tulang samping yang menyambung dengan tulang punggung atau belakang. Usahanya tak berhenti, dia lalu menelusuri sungai Buntalan lagi. 
Tak jauh dari penemuan tulang  belakang, dia menemukan fosil yang berbentuk seperti tulang leher ikan. 
Dia menyakini, fosil yang ditemukan adalah ikan besar. Sebab dari tulang yang ditemukan cukup besar, yakni satu kepalan lebih tangan orang dewasa. Untuk sementara, dari hasil penemuan fosil ikan hiu ini, panjangnya 2,3 meter. Diperkirakan masih lebih panjang lagi. Sebab, masih banyak fosil yang belum ditemukan.
‘’Tak ada mimpi sebelumnya, tapi penemuan adalah hobi saja,’’kata Supangat. Fosil itu kini disimpan di rumahnya di Desa Buntalan.  
Temuan fosil itu akhirnya disampaikan kepada pengelola Museum 13, Harry Nugroho. Harry pun melakukan penelitian. 
Jenis batuan tempat penemuan fosil ikan paus adalah formasi lidah. Kedalaman dari permukaan sekitar 10 m-300 m. Ciri batuan lidah adalah terumbu dan batu gamping berlapis.  Perkiraaan usia fosil itu dilihat dari jenis batuannya adalah 3 juta-700 ribu tahun lalu. Sebelumnya di Sugihwaras juga pernah ditemukan, tapi tak selengkap yang ditemukan di Temayang ini.  
Peneliti Museum Geologi Bandung, Erick Setiyabudi mengapresiasi penemuan fosil ikan besar di Bojonegoro. Fosil ikan paus ini merupakan kali pertama ditemukan di  Indonesia. 
Dugaan kuat, fosil ikan besar yang itu adalah paus. Sebab, ikan paus memiliki tulang belakang (vertebrata). Sedangkan ikan besar seperti hiu tak memiliki tulang belakang. Tapi tulang rawan. Sehingga ikan hiu akan hancur jika sudah matu lama. Berbeda dengan ikan paus. Merupakan jenis hewan mamalia yang memiliki tulang belakang. Kalau ikan hiu tak memiliki tulang belakang, tapi tulang rawan. 
Di Pulau Seram Papua juga pernah ditemukan ikan besar. Namun bukan jenis ikan paus. Yakni, lebih mengarah ke jenis dynosaurus. Usianya 65 juta tahun. ‘’Kalau ikan paus yang di Bojonegoro itu satu-satunya yang baru ditemukan di Indonesia,’’tegasnya.     
Untuk memperkuat temuan fosil ikan besar di Bojonegoro, Erick akan akan mengkonsultasikan kepada ahli ikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Konsultasi tersebut untuk memperoleh keterangan yang lebih detail tentang tulang dan jenis ikan.
Bupati Suyoto juga mengapresiasi temuan fosil ikan paus ini. Dia berharap bukti sejarah ini dapat merangkai sejarah Bojonegoro di masa lalu. ‘’Karena itu perlu diamankan jangan sampai terjual ke pasar gelap,’’tegasnya.  
Di pasar gelap fosil, penemuan seperti tulang ikan paus purba ini dihargai sangat mahal. Diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan juga rupiah. Karena itu, penemuan fosil ikan paus ini harus diamankan. Pentingnya juga memberikan penghargaan dan apresiasi kepada penemunya.
Penemuan Fosil Tanduk Kerbau di Bengawan Solo
Fosil tanduk kerbau berukuran 1,7 meter itu diletakkan di atas bangku yang berada di dalam museum mini SDN 2 Panjunan.  Satu tanduk ditemukan utuh, satu tanduknya lagi telah patah. Tanduk itu dipisahkan kepala kerbau yang tingga kerangka namun beberapa fosil gigi kerbau ditemukan masih utuh. ‘’Fosil gigi kerbau sangat berguna untuk mengetahui umur fosil tanduk kerbau ini,’’kata penemu fosil tanduk kerbau Dimun Suprapto. 
Tanduk kerbau itu ditemukan pada 28 September 2013 di aliran Bengawan Solo. Tepatnya di sepanjang aliran Kecamatan Malo. Dimun tak bersedia mengungkapkan titik lokasi penemuan tanduk kerbau tersebut. Alasannya, dirinya tak ingin ada pencurian terhadap kekayaan sejarah dan prasejarah Bojonegoro. ‘’Kalau diketahui titik lokasinya maka saya yakin akan banyak pencuri fosil yang berdatangan ke Bojonegoro,’’ujar pria asli Kalitidu. 
Penemuan ini berawal dari ketekunan Dimun bersama Suheri dan Hary Nugroho mencari fosil pra sejarah di sepanjang Bengawan Solo. Saat musim kemarau seperti ini, air Bengawan Solo surut sehingga mempermudah mencari fosil binatang purba di sepanjang aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. ‘’Tidak ada warga yang memberitahu kami terkait fosil tanduk kerbau tersebut, jadi murni kami mencari sendiri,’’ujarnya. 
Fosil kerbau dengan nama latin Bubalus Paleokarabau ini diperkirakan berusia 300 ribu-10 ribu tahun. Karena dinilai cukup tua, penemuan fosil tanduk kerbau ini mendapatkan apresiasi para peneliti dari Museum Geologi Bandung. Rencananya, para peneliti dari museum Geologi Bandung akan ke Bojonegoro pada November mendatang untuk meneliti fosil tanduk kerbau tersebut. 
Perkiraan usia fosil tanduk kerbau tersebut bakal ditentukan oleh hasil penelitian dari sejumlah kerangka yang ditemukan dan tanah yang menempel di fosil tersebut. Bisa saja, fosil tanduk kerbau lebih tua usianya. Sebab, usia Bengawan Solo diperkirakan mencapai 1 juta tahun lalu. Bengawan Solo pada masa purba menjadi lokasi berkumpulnya binatang purba mencari air. 
Bagi Dimun, penemuan fosil tanduk kerbau ini adalah temuan terbesarnya selama menjadi pencari benda sejarah dan pra sejarah di Bojonegoro. Sebelumnya, ratusan fosil telah ditemukan Dimun, Suheri dan Hary Nugroho, namun temuan yang agak utuh adalah fosil tanduk kerbau ini. 
Dimun berencana menjual fosil tanduk kerbau ini. Dana penjualan fosil kerbau ini akan digunakan sebagai operasional pencarian benda dan situs pra sejarah di Bojonegoro. Selama ini, dia mengaku harus merogoh koceknya sendiri untuk mencari benda purbakala. Dukungan dari pemerintanpun dinilai sangat minim. Karena itu, dirinya tak ragu untuk menjual fosil tanduk kerbau tersebut. 
B.    Bojonegoro Pada Masa Prasejarah
Orang Kalang 
Makam orang Kalang membuktikan pada zaman megalitikum di Bojonegoro sudah ada aktivitas manusia. Makam Kalang yang di Kasiman, Bojonegoro. 
JFX Hoerry dalam buku Napak Tilas Wong Kalang Bojonegoro (2011) menyebutkan, belum ada bukti orang Kalang diakui asli Bojonegoro. Namun, orang Kalang yang ada di Bojonegoro sudah ada sejak zaman pra sejarah atau sejak Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Orang Kalang  di Bojonegoro adalah penyembah matahari. Hal itu dibuktikan dari makam tertua Kalang di Kidangan yang dikenal Wali Kidangan di Desa Sukorejo Kecamatan Malo. Artinya, orang Kalang di Bojonegoro lebih tua dari orang Kalang di Jogjakarta pada masa Raja Mataram I, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). 
Dosen Universitas Udayana  Bali, Rochtri Agung Bawono dalam tulisannya Menelusuri Masyarakat Asli Bojonegoro (2010) menyebutkan, makam orang Kalang di Bojonegoro diperkirakan pada 1460-1620. Menurut Roctri, jika merujuk dari tahun tersebut maka orang Kalang di Bojonegoro  ada pada masa Hyang Purwawisesa dari Dinasti Girindrawardana yang berkuasa pada akhir Majapahit (1456-1466). Padahal Bojonegoro baru lahir pada 1677. Artinya, sekitar 200 tahun sebelum Bojonegoro lahir, orang Kalang sudah berdomisili di Bojonegoro.  Dalam kajian CLM Panders dalam buku Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia menyebutkan, orang Kalang adalah asal usul dari komunitas Samin yang ada di Blora dan Bojonegoro. 
Saya termasuk percaya bahwa orang Kalang bukan orang asli Bojonegoro. Namun setidaknya ada bukti ilmiah orang Kalang adalah komunitas tertua yang ada di Bojonegoro. 
Semestinya makam Kalang dan situs sejarah Rajekwesi lainnya yang harus dijaga dan dipelihara oleh pemkab. Makam batuan Kalang itu bisa dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah yang menarik. 
Bojonegoro Pada Mulanya
Dari catatan bundelan Sejarah Bojonegoro: Bunga Rampai, Bojonegoro bermula dari perkampungan yang tersebar di sejumlah titik. Kampung-kampung itu tersebar di Gadung Rahu yang saat ini disebut Ngraho, Badender (Dander), Randu Gempol, Toja dan Adiluwih.  Adalah Ki Ruhadi atau yang dikenal Rakai Purnawikan yang menjadi salah satu kepala suku terkuat dari sejumlah perkampungan. Dia tinggal di Randu Gempol. Nama itu lalu diubah menjadi  Hurandu Purwo pada 1115. 
Letaknya berada di Desa Plesungan Kecamatan Kapas. Ibukota kerajaannya di Kedaton di sekitar wilayah Kecamatan Kapas. Kerajaan kecil Hurandu Purwo lalu lenyap. Pada saat kekuasaan  Airlangga  bertahta di Kahuripan, wilayah kekuasaanya hingga barat. Saat itu berdiri kabupaten Rajekwesi.  Pada masa kerajaan Singasari (1222-1292), kerajaan Rajekwesi pecah menjadi tiga. Yakni Rajekwesi Wetan, Bahuwerno (Baureno) dan Getasan Kenur (Kanor saat ini). 
Pada zaman kerajaan Majapahit (1293-1309), tiga kabupaten itu dilebur menjadi satu dengan nama Kabupaten Kahuripan. Sejumlah candi pada zaman Airlangga dan Majapahit dibangun di kabupaten Kahuripan. Sayang, candi-candi itu dihancurkan saat kerajaan Demak berkuasa di tanah Jawa (1521). 
Kabupaten Kahuripan pun ditelan zaman. Lalu pada 1523, muncul dua kabupaten yang berbasis Islam. Yakni, Jipang Panolan dan Waru. Jipang Panolan dipimpin Raden Wirabaya dan bekas Senopati Anggakusuma sebagai adipati Waru.  Hingga kemudian Jipan Panolan menjadi wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. 
Dari Bojonegorolah sesungguhnya mempunyai hubungan batin yang sangat erat dengan Kasultanan Yogyakarta. Sebab, bupati Bojonegoro, R.T Sosrodingrat yang menikah dengan BRA Sosrodiningrat menurunkan trah Hamengkubuwono ke IV hingga Hamengkubuwono ke X saat ini.
C.    Di Bawah Kekuasaan Belanda 
Masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
Pada tahun 1795 dalam kerajaan Belanda terjadi perebutan kekuasaan oleh Perancis dengan jalan kekerasan atau biasa dikenal dengan Coup’detat. Pada saat itu Raja Belanda yang bernama Willem III melarikan diri ke Ingrris dan di negeri Belanda sendiri mereka membentuk suatu pemerintahan Republik dengan nama Bataafsche Republik. 
Republik ini bekerjasama dengan Prancis sedangkan Raja Belanda yang melarikan diri ke negeri Inggris tadi membentuk pemerintahan sendiri dan bekerjasama dengan Inggris. Suatu keuntungan tersendiri bagi setiap pihak karena pada saat itu Inggris dan Perancis sedang perang hebat.
Pada tahun 1801 hingga 1808 terjadilah pertentangan politik yang di sebabkan oleh pro-kontra terhadap Perancis yang notabennya pada masa itu Belanda masih menjajah Indonesia. oleh karena itu dibentuklah sistem perekonomian baru yaitu monopoli dan mode pemerintahan dagang dengan tetap mempertahankan jenis modes VOC. Sistem ini dikemukakan oleh pimpinan Naderburg bekas Komisaris Jenderal tahun 1791 hingga 1799. Hal ini di tentang olehVan Hogendorp bekas gezaghebber di Jawa Timur, beliau memiliki pemikiran yang sangat liberal dimana sistem pemerintahan harus dipisahkan dengan soal-soal ekonomi yang mana sistem rodi harus dihapuskan. 
Setelah melalui pertemuan kedua belah pihak ditemukan jalan keluar dimana sistem pemerintahan Belanda yang kolot masih tetap dipergunakan serta di imbangi dengan perubahan sistema yang bersifat liberal. Dengan begitu berdampak besar bagi politik di Indonesia karena pada saat itu Belanda masih menguasai Indonesia sedangkan Belanda berada pada kekuasaan Perancis. 
Pada masa itu Indonesia dibawah ancaman Inggris yang pada saat itu menguasai pangkalan di India, sehingga mengkhawatirkan Napoleon Bonaparte (raja Republik baatafsche)akan perebutan Indonesia oleh Inggris. Dengan begitu Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Willem Daendels seorang ahli hukum dan ahli militer untuk mengemban tanggung jawab memimpin pemerintahan di Indonesia. Datang di Indonesia pada tanggal 14 Januari 1808 Gubernur Jendral Herman Willlem Daendels menjabat sebagai Gubernur ke 36 di pulau Jawa. 
Selama tiga tahun masa jabatannya di Indonesia sangatlah membekas bagi sejumlah masyarakat salah satunya Bojonegoro, sistem pemerintahan yang fundaentil dia terapkan dengan tindakan-tindakan yang cenderung kejam. Beberapa kekejaman Gubernur Daendels yang masih membekas di hati masyarakata adalah ketika membuat pertahanan militer untuk menghindari serangan dari Inggris. Saat itu Bojonegoro masih di bawah wilayah Rembang, sedangkan untuk mencari perlindungan Gubernur  Daendels membuat jalan besar yang membentang dari Anyer di Jawa Barat hingga Pantai Utara Pulau Jawa kota Panarukan Jawa Timur. Di perkirakan jalan mencapai 1000km, cara pembuatan jalan ini menggunakan sistem paksa atau kerja rodi. 
Masyarakat yang berada di sekitar jalan yang di bangun di paksa untuk membangun jalan termasuk rakyat Bojonegoro, mereka di paksa untuk membangun jalan serta pangkalan angkatan laut tanpa di beri upah berupa uang dan makanan. Sehingga makanan yang mereka makan adalah pemberian dari Sultan Yogyakarta. Disamping itu, kekejaman juga terjadi di bidang ekonomi keuangan dimana Gubernur Daendels menerapkan sitem VOC bagi masyarakat Indonesia dan Eropa. Sedangkan pada masa itu perekonomian di Indonesia sedang merosot sehingga timbullah perlawanan dari rakyat Indonesia. 
Perlawanan di pimpin oleh Kesultanan Yokyakarta, yang mana beliau juga merupakan pimpinan dari Blok politik yang anti Belanda. Pergolakan politik antara blok politik anti Belanda yang di pimpin oleh Sultan Hamengku Buwono II dan blok politik pro Belanda yang di pimpin oleh Patih Danuredjo yang dimenangkan oleh Sultan Hamengku Buwono II. Kemenangan ini sontak membuat Belanda khawatir sehingga Gubernur Daendels menyusun beberapa tuntutan yang bukan-bukan untuk Kasultanan Yogyakarta. Salah satu tuntutannya adalah menyerahkan orang-orang yang di anggap anti Belandaa terutama Pangeran Raden Natakusumo serta menggerakkan kembali rakyat berusia dewasa sepanjang jalur proyek lalu lintas di jalur Utara. 
Oleh sebab itu rakyat Jipang (Bojonegoro) berlindung dibelakang blok anti Belanda karena merasa keselamatan mereka terancam. Bupati Jipang Raden Ronggo Prawirodirdjo III itu sontak melakukan perlawanan terhadap Belanda secara terus-menerus hingga akhir hayatnya. Dengan meninggalnya Bupati Jipang justru membuat Gubernur Daendels menaruh perhatian lebih terhadap perekonomian di Jipang (Bojonegoro). Sejak saat itu Gubernur Daendels memberikan tindakan-tindakan yang tegas dan keras bagi masyarakat.Salah satu tindakan tegas Gubernur Daendels adalah dengan memberikan gaji yang tetap kepada semua pegawai termasuk Bupati Jipang. 
Tindakan keras pada waktu itu adalah dengan melarang mereka melakukan perdagangan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Akan tetapi larangan itu belum sepenuhnya bisa terapkan karena belum adanya aturan yang mutlak oleh pegawai. Dengan adanya peraturan baru berarti telah merubah peraturan lama dari sistem korp pegawai warisan dari VOC menjadi lebih modern. Sehingga hal itu merubah pemikiran para petinggi daerah bahkan termasuk desa, dari yang bersifat feodal ke arah yang modern. Hal itu di lakukan oleh Gubernur Daendels demi untuk mendapatkan perekonomian yang lebih maju serta mensukseskan program pemerintahannya dengan sistem paksa. 
Gubernur Daendels dikenal sebagai orang yang memiliki ambisi tinggi dalam memimpin suatu wilayah, dengan sifatnya tersebut besar keinginannya untuk menerapkan sistem paksa dalam pembangunan proyek jalannya yang di beri nama Jalan Raya Daendels. Dengan begitu roda perekonomian akan ikut maju karena selain untuk pertahanan dari serangan Inggris di utara, jalan tersebut juga digunakan untuk memperlancar jalannya perekonomian. Keinginan Gubernur Daendels nampaknya kurang berjalan mulus karena Daendels cenderung menerapkan sistem kontradiktif pada sistem perekonomiannya. 
Gubernur Daendels menghapuskan penyerangan wajib benang kapas dan nila yang banyak dihasilkan oleh rakyat Jipang akan tetapi cenderung memaksa mereka untuk kerja paksa (rodi). Hal tersebut membuat masyarakat Yogyakarta yang memang dekat dengan Jipang melakukan pemberontakan api kepada Daendels. Akibat terjadinya pemberontakan membuat keadaan financial Daendels merosot jauh dari masa Kompeni dulu, sehingga Gubernur Daendels menjual beberapa tanah yang luas kepada Cina.  Hal ini hampir membuat Jipang runtuh akibat politik tersebut, akan tetapi dapat terselamatkan oleh kerajaan Inggris yang akhirnya menguasai Indonesia. 
Masa Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles 
Pemerintahan masa Daendels memberikan riwayat yang buruk terhadap pemerintahan selanjutnya, salah satunya hubungan yang kurang baik dengan para petinggi Jawa khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Serta suasana administrasi pemerintahan yang kurang lancar dan kas negara yang semakin kosong membuat Gubernur Janssens harus bekerja keras untuk memulihkan semua. Hubungan-hubungan dengan negara asing pun kurang harmonis sehingga negara tidak akan mendapat bantuan apapun dari Belanda. 
Selama beberapa waktu belum ada tindakan apapun yang dilakukan oleh Janssens untuk memulihkan semua dan bahkan pada saat itu Belanda menyerahkan diri karena tidak sanggup melakukan perlawanan di desa Tuntang wilayah kabupaten Salatiga yang merupakan daerah kekuasaam Surakarta. penyerahan ini biasa di sebut “Kapitulasi Tuntang” pada tahun 1811, sejak saat itu perekonomian Indonesia berada pada jajahan perseroan dagang seperti VOC. East Indiant Company (EIC) merupakan perseroan dagang inggris yang berpusat di India, yang kini menguasai perekonomian Indonesia. 
Dengan dibekali ilmu yang diterapkannya di India membuat Raffles percaya untuk menerapkannya di Indonesia, salah satunya Stelsel Tanah.  Raffles berusaha menumbuhkan perdagangan bebas, sistem tanaman bebas dan menghapuskan kontingenten serta rodi. Sistem rodi di hapuskan akan tetapi petani pribumi di wajibkan membayar pajak kepada Inggris. Demi menjalankan sistem Stelsel Tanah Raffles melakukan penelitian ke berbagai daerah di Jawa, sehingga mendapat gambaran untuk mengambil alih pemungutan pajak yang dilakukan oleh para raja dari Yogyakarta dan Surakarta. 
Mereka membebaskan raja dari kegiatan pemungutan pajak dan mengangkatnya menjadi pemimpin. Dengan begitu perlahan pemerintah Inggris mampu merebut posisi para raja untuk pemungutan pajak serta penyewaan lahan pertanian yang dulunya dilakukan oleh para raja dan penduduk sebagai penyewa serta pengelola. Penduduk kini harus membayar pajak tanah kepada pemerintah bukan lagi upeti, yang biasa dikenal dengan sebutan “landrente”. Kegiatan pemungutan pajak tersebut dilakukan atas dasar seperti, penghapusan segala penyerahan hasil tanah secara paksa dan pembebasan penanaman serta perdangangan. Sehigga petani memiliki hak pasti atas barang-barang yang dihasilkannya, pengawasan di lakukan langsung oleh pemerintah. Berikut penarikan pajak tanah tidak lagi di lakukan oleh Bupati ataupun raja demi menghindari penyelewengan. Menyewakan tanah secara langsung tanpa melalui perantara. 
Dasar-dasar tersebut merupakan dasar perekonomian liberal, dimana petani di berikan kebebasan dalam menanam serta dagang sesuai dengan perjanjian dengan pemerintah. Sistem perekonomian liberal adalah dimana petani diberikan kebebasan sehingga tidak ada lagi sistem organisasi yang dilakukan petinggi-petinggi daerah setempat yang mana harus dipatuhi oleh rakyat.  Perubahan sistem ini semata-mata dilakukan bukan untuk kemakmuran rakyat melainkan trik dari Raffles agar mendapatkan barang-barang untuk kemudian di pasarkan di pasar dunia. Penarikan pajak yang terkesan tergesa-gesa menimbulkan terjadinya tekanan serta paksaan dari pemerintah. Hal itu dirasa berat oleh rakyat karena mereka di paksa menyetor uang dalam jumlah yang besar sedang mereka terbiasa dengan sistem kontingenten. Oleh sebab itu, ini menjadi kesempatan emas bagi Cina untuk mendapatkan barang-barang dengan harga murah karena rakyat terdesak untuk menjual barang mereka. 
Berbagai upaya dilakukan oleh Raffles demi merubah tatanan pemerintahan yang feodal menjadi tatanan yang berkiblat  Eropa. Raffles berusaha menggeser peranan Bupati serta petinggi daerah demi menerapkan dasar-dasar Eropa. Hal itu tidak di sambut baik oleh Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II yang  kembali menduduki kerajaan Yogyakarta setelah Daendels lengser. Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari Gubernur Jendral Raffles melakukan perlawanan yang sontak mendapat dukungan penuh dari masyarakat Jipang (Bojonegoro) karena pada masa itu menjadi salah satu daerah kekuasaan Yogyakarta. Akan tetapi  Inggris mampu menundukkan Sultan Sepuh dan pada akhirnya Jipang (Bojonegoro) yang memiliki banyak lahan jati jatuh ke tangan Inggris. 
Sejak saat itu kayu jati merupakan salah satu hasil bumi yang di perdagangkan di pasar dunia oleh Inggris. Setiap laki-laki yang tinggal di wilayah hutan kayu jati seperti di Malo, Kasiman dan Dander banyak diperkerjakan sebagai penanam, penebang dan pengangkut ke tempat tujuan. 
Sejak 1 April 1813 pemerintah Inggris mendirikan kantor yang disebut “Civil Communissioner”. Hal ini terjadi atas perjanjian yang dilakukan oleh pihak Inggris dengan Sultan Hamengku Buwono III dengan tujuan ingin membekuk kerajaan Yogyakarta. Sultan III harus melepaskan bea dari bandar-bandar dan pasar dan akan di ganti kerugiannya oleh Inggris sebanyak 100 ribu pertahun. Menyerahkan keuntungan daripenjualan sarang burung, madat dan kayu jati. 
Pada masa kekuasaan pemerintah Inggris, Bupati Jipang (Bojonegoro) dijabat oleh Raden Prawirosentiko yang merupakan keturunan dari Kasultanan Yogyakarta. Asas yang beliau terapkan berkiblat pada Kerajaan yang mana Bupati berkewajiban menarik upeti dari masyarakat untuk diserahkan kepada kerajaan untuk dibuat biaya perang.  Akan tetapi beliau belum begitu banyak melakukan perintah dari penguasa Inggris.
Masa Commissaris Jendral
Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789 mendapat perlawanan keras utamanya dari negeri Perancis. Masyarakat banyak yang menolak despotisme serta hak-hak istimewa yang di tekankan pada masa itu. Penolakan dilakukan oleh kaum bangsawan serta petani yang menolak terhadap perbudakan yang dilakukan oleh tuan tanah karena disana kaum borjuis juga ikut membayar pajak. Akibat dari revolusi perancis ini benua Eropa dan susunan pemerintahannya rusak termasuk Belanda. 
Penyusunan kembali sistem pemerintahan Eropa yang dilakukan oleh negara-negara pemenang di buktikan dengan adanya perjanjian Chaumon pada 1 Maret 1814. Setelah runtuhnya Perancis sebagai negara Revolusi membuat Inggris menduduki posisi tertinggi di benua Eropa. Hal itu membuat kekhawatiran tersendiri untuk negara Inggris akan serangan dadakan yang akan dilakukan oleh negara Perancis. Oleh karena itu, pemerintah Inggris memikirkan hal kemanusian dan perlindungan negara dengan membangun kembali negara Belanda yang letaknya berada pada perbatasan Belanda Perancis dengan tujuan sebagai perisai Inggris. Untuk mewujudkan tujuan tersebut negara Belanda harus memiliki daerah jajahan sehingga pada tahun 1814 diadakan penyerahan derah jajahan Inggris yaitu Indonesia kepada Belanda,  ditandai dengan konvensi London. Yang berisi tentang penyerahan beberapa daerah kekuasaan Inggris kepada Belanda yang diwakili oleh beberapa team. Team tersebut terdiri dari pegawai pemerintah serta beberapa batalyon tentara Belanda yang akan di kerahkan untuk menjalankan pemerintahan baru di Indonesia. Penyerahan daerah jajahan Indonesia dari tangan Inggris kepada Belanda dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1816. Pemerintahan yang baru ini bernama “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda. 
Pemerintahan Hindia Belanda yang diterapkan di Indonesia tidak berjalan mulus karena mereka kesulitan untuk mendapatkan kekuasaan kembali terutama di pulau Jawa. Dengan kembalinya pemerintah atas kekuasaan Belanda maka muncul kembali penarikan pajak secara sewenang-wenang seperti yang diterapkan zaman VOC dulu. Pemerintah Hindia-Belanda bekerja ekstra keras untuk mengisi kekosongan kas negara, oleh sebab itu mereka menekankan pada semua rakyat untuk mengekspor tanaman dagang mereka. Pada saat itu Jipang (Bojonegoro) ialah negara penghasil kayu jati terbesar akan tetapi ekspor kayu jati kurang begitu berhasil karena kurangnya pengalaman petani. Sistem feodal yang selama ini di terapkan di Indonesia belum mampu digeser oleh pemerintahan Gubernur Raffles. Pemerintahan Hindia-Belanda mulai mendominasi Bojonegoro dimulai pada tahun 1830, akan tetapi pemerintahannya tidak akan mampu mencampuri kehidupan masyarakat Bojonegoro sampai keakarnya. 
Awal tahun 1825 terjadi perang besar Diponegoro, pada masa itu keadaan pemerintahan di Jipang (Bojonegoro) belum banyak di sisipi oleh kolonial karena masih dalam kepemipinan penguasa daerah seperti Bupati Raden Tumenggung Sumonegoro. Perekonomianpun masih dalam bentuk barter (tukar- menukar barang) bukan uang, oleh karena itu pemerintah pusat belum mampu mengkoordinir keuangan negara sehingga para pejabat pemerintah di beri wewenang untuk menarik upeti dari masyarakat. Dengan begitu akan membantu meningkatkan otonom daerah dari segi finansial. 
Pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Van der Copellen tahun1819, bupati masih mempunyai kekuasaan sebagai penguasa dan pejabat daerah sehingga rakyat mempunyai pemikiran untuk membalas jasa mereka dengan memberikan upeti dan gaji berupa tanah. Hal tersebut sudah berusaha di hapuskan oleh pemerintahan Hindia- Belanda untuk mengurangi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh petinggi daerah serta memperkecil usaha tuan-tuan tanah. Akan tetapi harapan itu tidak dapat tercapai dan justru terjadi beberapa pemberontakan oleh rakyat. Pada masa pemerintahannya Gubernur Van der Copellen membentuk karesidenan dan kabupaten di pulau Jawa pada Januari 1819. 
Reaksi Rakyat
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro ialah bukti kecintaan Pangeran Diponegoro terhadap bangsanya, beliau tidak ingin bangsanya di tekan maupun di jajah olehbangsa lain. Kecintaannya terhadap tanah air di buktikan dengan kegigihannya untuk memperebutkan kemerdekaan yang sebenarnya. Kekejaman serta penindasan yang dilakukan oleh negara penjajah menyulutkan peperangan antara rakyat dengan Belanda, dimana Pangeran Diponegoro mendapat dukungan penuh dari masyarakat Jipang (Bojonegoro). Hal- hal yang memicu peperangan antara lain adalah orang-orang Belanda yang secara perseorangan memiliki tanah yang luas di Yogyakarta akibat persewaan yang dilakukan oleh orang Belanda kepada kaum bangsawan yang kekurangan uang. 
Orang-orang Cina yang secara personal sebagai pemungut pajak (tol) pada jalan dan jembatan yang mereka anggap sebagai bangunannya demi kepentingannya. Adudomba yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda serta penarikan bermacam-macam pajak. Banyak pihak yang dirugikan oleh aturan yang di buat Belanda, salah satunya Rakyat dan kaum bangsawan. Mereka harus menerima aturan yang telah ditetapkan meskipun pada akhirnya mereka harus mengalami penderitaan serta kerugian yang besar. Disamping itu mereka juga mendapat penghinaan dan perlakuan yang tidak baik menurut hukum adat-istiadat yang berlaku waktu itu.  Hal ini yang memicu amarah Pangeran Diponegoro sehingga beliau melakukan perlawanan terhadap Belanda. Rakyat yang  
Rakyat semakin sengsara dengan adanya berbagai macam pajak yang harus di bayar kepada pihak Asing salah satunya adalah sistem pembayaran tol (bea). Beawan yang tidak berperikemanusiaan tersebut memaksa dan memeras rakyat agar membayar pajak dalam jumlah besar karena mereka menyewa daerah bea cukai dengan harga yang tinggi. Karena tidak ingin mengalami kerugian akhirnya mereka memeras rakyat dengan memintai pajak atas semua barang bawaannya. 
Pangeran Diponegoro
Putra dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati yang dikenal dengan Pangeran Diponegoro. Adalah sosok yang taat beragama dan misticus, kegemarannya bertapa di gua-gua membuatnya semakin bertambah kuat. Sosoknya yang sholeh sangat di hormati oleh penduduk sekitar.
Sebab khusus meledaknya peperangan adalah pada suatu hari banyak patok ditancapkan di lahan tanah di Tegalrejo (daerah tempat tinggal Pangeran Diponegoro) yang mana dilakukan tanpa izin dari sang pemilik. Pada saat itu Pangeran Diponegoro memerintahkan beberapa orangnya untuk mencabut patok tersebut lalu Patih Danurejo IV menginginkan patok tersebut di pasang kembali karena takut kepada Nahuys, Residen Yogyakarta. Dengan begitu terjadilah perselisihan kedua belah pihak, pada akhirnya Nuhuys menunjuk Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro) untuk melunakkan hati Pangeran Diponegoro agar mau menghadap Nahuys. Melihat hal itu seketika Pangeran Diponegoro menolak akhirnya terjadi serangan mendadak oleh Belanda di Tegalrejo. Oleh sebab itu mulailah terjadi peperangan, agresi yang dilakukan Belanda dengan membakar tempat tinggal Pangeran Diponegoro dan memporak-porandakan penduduk. Dengan bantuan Pangeran Mangkubumi serta para prajurit termasuk rakyat Jipang, Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan kepada Belanda. Dengan mengatur strategi baru untuk penyerangan, Pangeran Diponegoro menyusun organisasi ketentaraan dan pimpinan perang yang bermarkas di Selarong. 
Peperangan yang berlangsung selama lima tahun itu mulai 20 Juni 1825 hingga 28 Maret 1830 telah menelan banyak korban bagi prajurit Belanda. Teriakan perang melawan kolonialisme Belanda yang disuarakan Pangeran Diponegoro disambut hangat oleh rakyat termasuk rakyat rajekwesi. 
Sekian lama mereka merindukan sosok pahlawan seperti Pangeran Diponegoro yang mau melakukan perlawanan akibat penindasan yang dilakukan oleh negara Asing. Hal ini membuat semua rakyat rela secara lahir-batin segenap jiwa raga demi membela tanah air mereka dan untuk mengembalikan kekuasaan atas kesultanan Yogyakarta. 
Rajekwesi ialah nama suatu desa yang merupakan salah satu bagian dari Jipang. Desa tersebut masih agraris dimana kehidupan rakyatnya bergantung pada hasil tanaman yang mereka produksi. Rajekwesi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kahuripan dan berstatus sebagai “Daerah Persekutuan Desa”. Bahkan pada masa kerajaan Mojopahit desa Rajekwesi mulai tak terdengar hingga datanglah kerajaan Mataram yang membangkitkan desa Rajekwesi kembali. Sampai pada akhirnya rakyat Rajekwesi ikut andil dalam peperangan Diponegoro. 
Perang Diponegoro yang terjadi di sejumlah wilayah di daerah Jawa memaksa negara Belanda untuk memperkuat perlindungan dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan serta memperkuat kekuatan militer mereka. Hal itu pula yang dilakukan rakyat Jipang (Bojonegoro) yang pada masa itu masih ikut wilayah Rajekwesi untuk mendukung Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Perlawanan yang dilakukan rakyat Rajekwesi pada tanggal 20 November 1827 di pimpin oleh Raden Tumenggung Aria Sasradilaga. Peperangan yang di pimpin beliau pecah dan pada akhirnya mampu merebut wilayah Rembang dan Bowerna dari tangan Belanda. 
Akibatnya Kekuasaan Belanda di wilayah Timur pun ikut terancam, pada akhir tahun 1827 seluruh wilayah Rembang dan Rajekwesi tempur dalam api peperangan yang membuat negara Belanda mengirimkan pasukan yang seharusnya bertahan di Jawa Tengah untuk membantu peperangan di Timur. Perlawanan semakin sengit karena Tuban berhasil direbut oleh rakyat, mereka juga mampu merebut beberapa senjata Belanda seperti meriam.
Rembang yang menjadi pusat pemerintahan Belanda pada masa itu menjadi sangat terancam oleh serangan dari rakyat. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama dikarenakan rakyat yang mudah puas dengan kemenangannya menjadi celah yang baik untuk Belanda menyusun strategi penyerangan. Tanggal 26 Januari 1828 menjadi angin yang baik untuk Belanda karena mereka mampu memperbaiki  hubungan dengan Surabaya dan Semarang.  Belanda semakin kokoh mendirikan benteng-benteng pertahan di wilayah Jawa Timur-Jawa Tengah. Dengan dipimpin Kolonel Roest  Belanda menyerang Madiun dan Rembang, mereka mengincarpimpinan rakyat yaitu Tumenggung Sasradilaga dan Raden Bagus. Akhirnya kedua pemimpin tersebut berhasil tertangkap dan kemudian menyerah kepada Belanda. 
Awal November 1825 adalah awal pemerintahan Nederland Indie di Kabupaten Jipang, pada masa itu di dirikanlah Residen Rembang dan diadakan suatu sidang. Beberapa petinggi daerah seperti Kartodirdjo dan Mangunnegoro menentang hasil sidang, mereka berambisi untuk menumpas habis seluruh peserta sidang termasuk Raden Adipati Djojonegoro (Bupati Jipang) yang di sinyalir mendukung Hindia-Belanda. Oleh sebab itu, Raden Sosrodilogo berusaha merebut kembali Rajekwesi sebagai pusat pengatur strategi untuk perlawanan terhadap Belanda. Hal itu menambah coretan sejarah tentang perang Diponegoro, karena pasukan Sosrodilogo yang berada dimana-mana telah siap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pemerintahan Sosrodilogo dikenal dengan sebutan pemerintahan perang karena pada masa kepemimpinannya lebih sering digunakan untuk berperang. Seperti yang dilakukan untuk merebut kembali Rajekwesi yang membuat Belanda merasa sangat terancam.
Pada tanggal 2 Januari 1828 pasukan Belanda berhasil mengusir Sosrodilogo keluar kota lebih dari 2000 pasukan belanda dikerahkan di bawah pimpinan Van Griesheim. Karena pengusiran tersebut Sosrodilogo memobilisir rakyat untuk melakukan perlawanan dari luar kota, Belanda pun melakukan serangan balik dengan mendirikan benteng utama di desa “Pluntaran”. Pemerintah Belanda juga menginginkan supaya Rajekwesi segera dipindahkan, namun semua itu tidak memadamkan niat Sosrodilogo untuk melakukan perlawanan. Usaha yang dilakukan oleh Griesheim tidak membuahkan hasil karena kondisi ekonomi di Rajekwesi tidak memungkinkan. 
Selain itu Belanda juga menginginkan perubahan nama atas Rajekwesi untuk menghilangkan kenangan rekyat tentang perlawanan kepada pemerintah. Beberapa usulan nama telah di terima oleh Road van Indie, dan pada tanggal 25 September 1828 Rajekwesi resmi berganti dengan Bojonegoro yang ditandatangani oleh Du Bus. Bodjonegara dalam bahasa kawi yang berarti kota/tempat memberi makan sehingga pemerintahannya dapat bertahan dari pemberontak. Dengan demikian secara resmi Jipang dan Rajekwesi telah berubah nama menjadi Bojonegoro, akan tetapi tetap pada karasidenan Rembang. 
Masa Penjajahan Hindia- Belanda
    Setelah perang Diponegoro berakhir wilayah Bojonegoro langsung dikuasai dan di perintah oleh pemerintah Hindia- Belanda. Pemerintahan yang di pimpni oleh C.F.T. Pranctorius menjadi babak baru penjajahan terhadap Bojonegoro. Untuk memulihkan perekonomian Belanda serta mengembalikan kas negara yang habis akibat  perang menjadikan Belanda menerapkan mode perekonomian stelsel. Stelsel adalah sistem perekonomian paksa yang diterapkan Belanda dengan pemerasan. Rakyat di paksa menanam tanaman –tanaman yang telah ditentukan pemerintah yang hasilnya dapat di jual ke Eropa. Salah satu bukti paksaan yang dilakukan Belanda antara lain, akan dibuat perjanjian antara rakyat dengan Belanda tentang pemberian separuh tanah dan ladang mereka untuk Belanda. 
Akan tetapi perjanjian itu mulai di ingkari karena Belanda hanya menginginkan tanah yang subur saja. Belanda membebaskan pajak kepada petani akan tetapi hal itu justru memberatkan rakyat karena hampir seluruh hasil tanaman mereka di minta pemerintah. Bojonegoro merupakan salah satu daerah yang diwajibkan tanam paksa, salah satu tanamannya adalah tembakau dan kapas. Rakyat sudah terbiasa menanam kedua tanaman tersebut untuk keperluan sendiri akan tetapi pada masa penjajahan Belanda mereka di paksa menanam untuk diekspor ke luar. Hal itu banyak memberikan dampak positif negatif bagi rakyat, dampak positifnya rakyat mampu memahami serta mempelajari tehnik dan cara memelihara tembakau. Mereka juga mampu membedakan mana bibit yang unggul dan sifat –sifat tanah. Dampak negatifnya banyak terjadi kemiskinan serta kemelaratan yang membawa kematian. 
Bojonegoro merupakan salah satu daerah yang berdampak besar akibat kemiskinan. Hal ini memicu reaksi rakyat dimana mereka bekerjasama dengan beberapa pihak seperti Humanis Belanda untuk melakukan tantangan terhadap tanam paksa berdasarkan prinsip-prinsip ethika dan perikemanusiaan. Pihak lain yang mendukung tantangan itu adalah Kaum Kapitalis Belanda, mereka berpendapat bahwa sistem tanam paksa di Indonesia harus dihapuskan sehingga pemodal-pemodal bisa memberikan pinjaman modal kepada rakyat dengan kejelasan status tanah. Reaksi Rakyat yang dilakukan masyarakat Bojonegoro adalah dengan membakar salah satu kebun tembakau terbesar yang berada di Balen. Mereka melakukan perlawanan kepada Belanda dengan membuat mereka rugi. 
Pada awal abad 20an di Indonesia diwarnai dengan pemberontakan-oemberontakan, kerusuhan dan kegaduhan yang dilakukan oleh masyarakat. Pemberontakan itu banyak diakukan oleh masyarakat pedesaan untuk menjelaskan suatu pertentangan yang dilakukan oleh rakyat. Hal itu didominasi oleh ajaran mesinitis dan pandangan yang bersifat revolusioner serta campur tangan negara Barat yang turut merubah sistem sosial rakyat. Perubahan sistem ekonomi serta penerapan sistem ekonomi uang semakin memperberat rakyat, hal ini membuat para petani melakukan pemberontakan. 
Disamping itu di bidang politik, lembaga politik tradisional semakin terdesak posisinya oleh pemerintahan kolonial.  Dalam hal ini rakyat mempunyai cara tersendiri untuk menghadapinya salah satunya gerakan sosial. Hal ini menjadi suatu ancaman bagi kolonial dikarenakan rakyat memperkuat protes sosialnya dengan perasaan keagamaan yang berubah menjadi sistem politik yang mana kolonial tidak memilikinya. Gerakan-gerakan rakyat itu sering disebut sebagai gangguan ataupun huru-hara oleh kolonial dikarenakan sistem pertahanannya yang tidak terorganisir. Pergolakan itu tidak dimasukkan sebagai peristiwa perang sebab mereka tidak mempunyai tujuan jelas di bidang pemerintahan dan masyarakat. 
Dapat dipastikan hampir setiap masyarakat mengenal pergolakan rakyat pada abad 20an, alasan pokok yang mendasari pergolakan tersebut adalah karena keadaan dan peraturan yang tidak adil. Serta rasa dendam kepada kolonial karena tidak memberi ruang yang bebas bagi kehidupan para pendukungnya.
Selain itu, masyarakat berharap akan datangnya ratu adil yang bersifat mesianistis dengan harapan dapat menyelamatkan rakyat. Terdapat beberapa jenis gerakan sosial yang dilakukan rakyat, salah satunya yang dilakukan masyarakat Bojonegoro adalah gerakan Samin. Munculnya gerakan ini oleh rakyat
Bojonegoro dikarenakan kemiskinan dan kemelaratan akibat sistem politik pintu terbuka (open deur politic) pada tahun 1870. Politik ini mulai berlaku sejak munculnya undang-undang Agraria (pertanahan) yang mana berisi pasal-pasal yang menguntungkan kolonial. Seperti, Gubernur Jendral dapat menyewakan tanah menurut peraturan perundang-undangan dan dengan peraturan perundang-undangan akan diberikan pula tanah dengan hak erfpacht paling lama 75tahun. 
    Pada saat yang sama pula Belanda mengeluarkan Agrarische Besluit yang mendukung kebijakan baru tentang agraria tersebut. Pasal pertama yaitu apabila rakyat tidak dapat membuktikan kalau tanah yang mereka miliki hak eigendom maka secara langsung tanah itu menjadi milik negara (Domien Verklaring).  Berikut adalah macam-macam definisi hak, hak eigendom ialah hak yang terkuat menurut sistem Barat. Hak pakai ini bersifat turun-temurun dan apabila terpaksa dicabut oleh pemerintah maka pemerintah wajib memberi ganti rugi yang sesuai. Hak erfpacht ialah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan kekuasaan yang penuh. 
Pemilik modal biasanya memiliki kewajiban untuk membayar uang pacht kepada pemilik setiap tahunnya. Hak opstal ialah hak untuk mendirikan rumah, bangunan dan tempat tanaman-tanaman diatas tanah orang lain (pribumi). Dengan adanya tiga jenis pertanahan ini maka terdapatlah tanah milik negara yang bebas. Artinya kebebasan itu sesuai dengan kehendak pemerintah, pemerintah dapat melakukan penggusuran-penggusuran tempat penduduk demi kepentingan negara. 
Penggusuran tanpa imbalan ganti rugi inilah yang menjadi penyebab kemiskinan penduduk. Padahal secara teoritis telah ada peraturan negara yang melangan penduduk menjual tanah kepada asing. Dampak dari pelaksanaan politik pintu terbuka ini menjadikan Indonesia menjadi negara pengambil bekal hidup demi kehidupan asing. 
    Sejak 1870 berkembanglah imperialisme modern dimana tanah jajahan Indonesia hanya di ambil kekayaannya saja, Indonesia menjadi negara pengambilan bahan mentah untuk pabrik-pabrik bangsa Eropa dan menjadi pasar penjualan barang-barang hasil macam-macam industri bangsa Barat (Eropa). 
    Menjadi lahan penanaman modal asing, salah satuya Bojonegoro. Rakyat Bojonegoro menjadi buruh di daerahnya sendiri, mereka di paksa bekerja kepada tuan Kapitalis yang menanam modal di wilayahnya dengan imbalan upah yang sedikit. Rakyat diperas tenaganya dan dipaksa oleh swasta demi kepentingannya. 
Gerakan Samin adalah gerakan pemberontakan yang dilakukan khususnya oleh masyarakat Bojonegoro yang berlokasi di Blora. Sistem pemberontakan ini bersifat mistik religius yang berhubungan dengan keagamaan. Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan tradisi lama yang mana tradisi tersebut telah banyak berubah akibat campur tangan dari luar. 
Membangun kembali sistem kolektif baik dari segi ekonomi maupun masyarakat. Ingin membebaskan diri dari  segala campur tangan kolonial, hal ini dijelaskan dalam buku teles. Menurut Soeparmo, masyarakat Samin adalah mereka yang menghendaki hidup bebas dan merdeka seluas-luasnya tanpa ada batas. Peradaban masyarakat Samin banyak terdapat di Tapelan kecamatan Ngraho. Perkembangan masyarakat Samin terjadi sejak abad 1900, pada mulanya dipelopori oleh Soerosamin. 
Masyarakat berpedoman pada ajaran-ajaran yang diajarkan Soerosamin yang pada dasarnya mereka tidak sudi diperintah oleh orang lain. Mereka terkenal amat jujur dan tidak suka mengganggu pihak lain. Mereka juga mempunyai tradisi dan aturan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya akan tetapi mereka sangat menghargai apabila ada tamu dari orang  luar. Perjuangan masyarakat Samin sangatlah panjang dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda, perlawanan itu mulai terjadi sejak kelahiran SaminSurasentika tahun 1859. Sejak saat itu beliau berjuang keras menyebarkan ajaran Samin untuk menolak pembayaran pajak, sehingga beliau dan beberapa pengikutnya dibuang oleh pasukan kolonial. Penyebaran gerakan Samin tidak hanya dilakukan di wilayah Bojonegoro tetapi juga di Blora, Rembang, Pati, Kudus dll. 
Perubahan Ketatanegaraan Bojonegoro
Pada awalnya Bojonegoro, Rembang, Tuban, Blora menjadi wilayah karesidenan Rembang yang masuk provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi semua itu berubah ketika ada dua pemimpin dari pihak Belanda yang ikut mengatur tatanan pemerintah pada 1826.
Pada tahun 1855 kelengkapan pemerintah di Bojonegoro sudah ada dan di bagi sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan pemerintahan yang semakin sempurna dan banyaknya warga asing yang tinggal di Bojonegoro. Dengan begitu makin banyak perusahaan negara maupun swasta, sehingga menambah  jumlah pekerja. Oleh karena itu perlulah dibentuk suatu tatanan pemerintah hingga ketinggat terendah yang dinamai “Distrik”. Wilayah Distrik karesidenan Rembang ialah, Bojonegoro, Rembang, Tuban dan Blora.
Bojonegoro merupakan daerah penghasil tembakau terbesar salah satu macamnya ialah tembakau Havana. Karena proses produksi yang cepat maka diperlukan perhubungan yang cepat pula sehingga dibuatlah jalan kereta api oleh Belanda yang berpusat diSemarang. Jalan kereta api dibuat guna untuk memperlancar ekspor tembakau dari Bojonegoro. Sehubungan dengan dibukanya jalur kereta api di Bojonegoro itu  muncul jabatan baru yaitu “patih” sebagai sekertaris kabupaten. 
Dengan kelengkapan perangkat pemerintah membuat wilayah Bojonegoro semakin ramai. Sehingga penjajah saling berebut untuk menerapkan sistem eksploitasinya kepada  tanah penduduk. Terdapat dua partai yang menginginkan pahamnya di anut oleh rakyat diantaranya partai Konservatif dan Liberal. Partai Konservatif menganggap tanah jajahan sebagai“perusahaan negara” dan partai Liberal menganggap tanah jajahan sebagai “perusahaan swasta”. Partai Liberal menolak campur tangan pemerintah guna untuk menjaga ketertiban umum untuk kelancaran roda ekonomi. Adapun tugas pemerintah adalah melindungi rakyat jajahan dari masalah tanah, oleh karena itu dibuatlah undang-undang agraria dan gula pada tahun 1870. 
Berdasarkan dari undang-undang tersebut maka sistem tanam paksa tembakau di Bojonegoro di hapus dan di ganti menjadi usaha swasta tahun 1866.  Sejak saat itu pihak swasta Eropa mendapat peluang banyak untuk memiliki tanah di wilayah Bojonegoro dengan sistem kontrak sewa tanah. Sejak tahun 1860an politik kolonial Belanda semakin mementingkan kesejahteraan rakyat sehingga mengakibatkan sistem administrasi pemerintah semakin intensif. 
Sekitar tahun 1870an perubahan di berbagai bidang terjadi, yang paling menyolok adalah urbanisasi atau perpindahan masyarakat desa ke kota. Faktor yang mendasari perpindahan mereka adalah berkurangnya tanam pertanian dan bertambahnya kemiskinan di desa. hal semacam itu menjadi alasan kuat rakyat pindah ke kota, disamping itu perkembangan kehidupan di kota dengan adanya perusahaan-perusahaan dan perkebunan yang menjamin kehidupan rakyatnya. Disisi lain alasan transportasi yang lebih mudah juga menjadi alasan mereka melakukan urbanisasi. 
Pada era perusahaan swasta maka diberlakukan administrasi sistem barat, pada saat itu Bupati Bojonegoro adalah Raden Mas Tumenggung Tirtonoto II. Dalam membangun daerahnya beliau mulai dari pembangunan prasarana irigatie (saluran dari pertanian) dan jalan lalu lintas. Pembangunan tersebut berhubungan dengan adanya usaha perkebunan milik swasta yang mengharuskan mereka membangun waduk demi kelancaran pertanian mereka. Disamping itu di bangun pula jalan raya klas dua tingkat pedesaan dan jembatan-jembatan. Sarana tersebut di bangun hampir di semua wilayah distrik, di usahakan pula pembangunan sosial khususnya lembaga pendidikan untuk masyarakat. Dengan di bukanya jabatan-jabatan tinggi administrasi pemerintah kolonial bagi penduduk pribumi akan membuka peluang bagi mereka untuk mendapat pelatihan dan pendidikan dari lembaga-lembaga pendidikan. 
Salah satu perkembangan penting yang mencerminkan perhatian yang lebih dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan rakyat pribumi adalah dengan pengangkatan Inspektur pendidikan. Pada 1 Agustus 1872 di kabupaten Bojonegoro mulai didirikan sekolah “Inlandsche Scholen, direktur sekolah di jabat oleh Raden Djojodimedjo serta pembantunya Abu Nodir dan Mustahal.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman produksi eksport berjalan kurang baik karena jatuhnya harga kopi dan gula dipasar dunia. Padatahun 1891 harga tembakau di pasaran juga merosot pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan tembakau. Pada saat itu Bojonegoro di bawah kepemimpinan bupati Raden Adipati Ariyo Reksokusumo. 
Dalam kurun waktu itu pemerintah mulai mengusahakan proyek besar seperti pengeboran minyak tanah. Tahun 1889 ditemukan adanya tambang minyak tanah di kawasan desa Kawengan “Banyu urip”, Kasiman. Sejak saat itu pula di adakan pengeboran minyak  dan hasil pengeboran minyak mentah tersebut di kirim ke Cepu yang kebetulan merupakan pusat pertambangan minyak tanah. Proyek kedua yang dilakukan pemerintah adalah Irigatie Solovalles merupakan proyek pemerintah yang mengusahakan untuk pembuatan sungai baru sebagai pemecah bengawan Solo yang di pandang mulai membahayakan daerah kota Bojonegoro. Karena bentuknya yang dangkal sehingga berakibat banjir. Galian aliran baru ini diberi nama Bengawan Suwang, proyek ini bertujuan untuk mengendalikan banjir dan untuk keperluan pertanian selama musim kemarau. 
Secara prasarana wilayah Bojonegoro memang sudah mengalami kemakmuran tetapi kesejahteraan rakyat tak ada perubahan. Bahkan menjelang tahun 1900an bahaya banjir semakin mengancam wilayah tersebut. Menurut Gonggrijp seorang ekonom Belanda mengatakan penyebab tidak adanya peningkatan kemakmuran masyarakat adalah dikarenakan krisis yang melanda perkebunan-perkebunan milik swasta ataupun pemerintah sekitar tahun 1885. Hal ini yang membuat perkebunan-perkebunan melakukan penghematan berupa penekanan upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin. 
Semua itu mudah untuk dilakukan sebab yang terkena tindakan penghematan adalah penduduk. Masyarakat Jawa khususnya Bojonegoro menanggung beban finansial yang amat berat karena hasil dana eksport tanaman tidak hanya di gunakan pemerintah Hindia Belanda untuk kemakmuran penduduk Jawa akan tetapi untuk membiayai pemerintah daerah koloni di luar Jawa. 
D.    Bengawan Solo dan Riwayatnya
Hati bergetar saat mendengarkan alunan Bengawan Solo di Film The Sun Also Rises karya Jiang Wen. Lagu itu diputar di akhir film. Saat si tokoh utama gantung diri di sebuah jembatan. Film berlatar Revolusi Kebudayaan Tiongkok ini menjadikan Jiang Wen sebagai The Best Director Venice International Film Festival pada 2007. Tepat pada tahun yang sama juga terjadi banjir besar akibat luapan Bengawan Solo. Banjir besar dalam sejarah Bengawan Solo itu menelan kerugian yang tak sedikit. 
Sebelumnya, sutradara favorot saya, Wong Kar Wai dalam film In The Mood for Love juga ada lagu Bengawan Solo versi lirik berbahasa Inggris yang dinyanyikan dalam salah satu adegan film tersebut.
Sebagai lagu, lagu Bengawan Solo sudah mendunia. Di Jepang, Tiongkok, Malaysia dan sejumlah negara lainnya, lagu ciptaan Gesang ini sudah sangat akrab.  
Ada ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola sungainya. Bojonegoro, Tuban dan Lamongan sebenarnya beruntung berada di wilayah aliran Bengawan Solo. Sungai-sungai besar di dunia mampu memberikan kehidupan yang layak bagi warganya. 
Di Mesir, Sungai Nil menjadi ikon dan mampu menjadi kekuatan ekonomi bagi Mesir. Di Brasil ada Sungai Amazon yang menjadi tulang punggung bagi jutaan warga di sepanjang Sungai Amazon yang membentang belasan negara di Amerika Latin. Amazon juga menjadi tulang punggung bagi lingkungan dunia serta flora dan fauna. Di Tiongkok ada Sungai Yangtze yang diubah menjadi kekuatan energi yang luar biasa. Puluhan ribu megawatt energi listrik dihasilkan dari sungai Yangtze. Dan Bengawan Solo menjadi tulang punggung ekonomi bagi ratusan ribu warga di sepanjang sungai terpanjang di Jawa ini.  
Nah, apakah sungai Nil, Amazon dan Yangtze tak pernah banjir? Tentu saja banjir menjadi rutinitas di musim hujan. Namun, pemerintah setempat mampu meminimalisir banjir. Bukan hanya meminimalir tapi juga memaksimalkan menjadi potensi ekonomi, kebudayaan, dan energi.  
Bengawan Solo kini sedang menggeliat lagi. Bagi warga di sepanjang Bengawan Solo, luapan air sudah menjadi kebiasaan. Bahkan dalam local wisdom, ada kepercayaan yang diyakini warga, banjir akibat luapan Bengawan Solo akan surut jika sudah meluap lima kali. Ini mungkin masih luapan ke 2-3 kali Bengawan Solo. Setelah itu akan surut lagi. Mungkin kepercayaan warga sepanjang Bengawan Solo hampir sama dengan warga di sekitar Gunung Merapi. Warga Merapi percaya, gunung bukan meletus tapi sekedar ‘batuk’. ‘Batuk’ untuk mengeluarkan dahak yang kotor, setelah itu Merapi akan sehat lagi. Kata ‘sehat’ bagi warga Merapi adalah lahan di sekitar Merapi akan subur kembali. 
Warga baik di gunung berapi maupun sungai memiliki kekhasan tersendiri dalam menyikapi bencana. Kepercayaan warga harus kita hormati. Namun, pemerintah juga harus melakukan upaya antisipasi meminimalisir banjir. Sebab, banjir kali ini bukan hanya dari luapan Bengawan Solo. Tapi juga sejumlah sungai yang meluap akibat tak mampu menampung air hujan.
Kita sebenarnya agak beruntung juga dijajah Belanda. Mengapa? Sebab Belanda adalah negara yang penataan saluran air dan irigasinya terbaik di dunia. Saat ke Bojonegoro, Belanda membangun Waduk Pacal untuk meningkatkan pertanian warga Bojonegoro. Bukan hanya itu, sebenarnya Waduk Pacal juga diharapkan mampu menampung air dari sungai yang di bagian selatan Bojonegoro. 
Belanda juga membangun Solo Valey. Yakni, sungai buatan yang digunakan untuk mengalirkan air dari Bengawan Solo ke bagian selatan Bojonegoro. Belanda sadar, jika air Bengawan Solo tak dibagi ke selatan, maka luapan air saat musim hujan akan menggenani kota Bojonegoro. Sayang niat Belanda membangun Solo Valey terhenti. Belanda harus segera angkat kaki, setelah perjanjian Meja Bundar disepakati antara Indonesia-Belanda dan Sekutu untuk mengakhiri penjajahan. Terhentinya pembangunan Bengawan Solo akhirnya mengakibatkan Bojonegoro yang berada di cekungan Bengawan Solo menjadi langganan banjir saat musim hujan.
Beberapa waktu lalu, ada niat dari pemkab Bojonegoro akan menghidupkan lagi Solo Valey. Sayang, niat itu hingga kini pun kabur alias tak jelas kelanjutannya. 
Berada di wilayah yang dikelilingi air menjadi resiko bagi Bojonegoro sebagai daerah yang dikepung air juga. Namun, sebagai wilayah yang juga menjadi ladang minyak, menjadikan Bojonegoro saat musim kemarau menjadi sangat kering dan gersang. Jika menyebut musim, maka gersang dan banjir adalah dua kata yang identik dengan Bojonegoro.
Air sebenarnya adalah berkah. Sebab air adalah lambang kehidupan. Tak ada air maka tak ada kehidupan. Jika air menjadi bah, maka bukan air yang keliru. Tapi perilaku kita yang harus ditata lagi. Menata air adalah menata keberlanjutan kehidupan.  
E.    Tanaman Berharga di Bojonegoro
Tembakau
Kapan tembakau kali pertama ditanam di Bojonegoro? Jika dihitung mulai awal hingga tahun ini, usia pertanian tembakau di Bojonegoro telah mencapai usia 178 tahun. Data itu saya baca di  buku Membunuh Indonesia (Konspirasi Global Penghancuran Kretek) yang diterbitkan pada 2011. 
Lagi-lagi Belanda yang ikut ‘berjasa’ mewariskan tanaman tembakau di Bojonegoro. Tanam tembakau kali pertama di Bojonegoro pada 1834. Sebelum tembakau ditanam di Bojonegoro, Belanda lebih dulu menanam di wilayah Kedu Jawa Tengah pada 1832. Namun, Belanda mengalami kegagalan panen tembakau di daerah Kedu. Kegagalan panen tembakau diakibatkan letusan gunung Merapi. 
Di Bojonegoro, Belanda mulai mencoba menanam tembakau jenis Manilla dan Havana. Belanda memilih Bojonegoro ditanami tembakau karena Dipilih Bojonegoro karena pada saat itu Bojonegoro masuk dalam wilayah Karasidenan Rembang. Hampir semua wilayah Karasidenan Rembang dipaksa menanam tembakau. 
Sayang tembakau yang ditanam di Bojonegoro tak bertahan lama. Petani tembakau terus merugi. Penyebabnya, kemarau yang panjang. Kekeringan yang dahsyat mengakibatkan tanaman tembakau menjadi tak produktif. Tanam tembakau di Bojonegoro pun akhirnya gagal. 
Kegagalan tak membuat Belanda surut. Belanda pun tak kekurangan akal. Dua tahun kemudian, pada 1936, muncullah kebijakan Tanam Paksa oleh Belanda. Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah tembakau. Hasilnya, penanaman tembakau menyebar hampir ke seluruh wilayah Bojonegoro. Hasilnya juga, Belanda untung besar dari jumlah ekspor tembakau yang selalu meningkat ke Eropa. Belanda untung besar dari jualan tembakau di Eropa. Bumi Rajekwesi ini juga 
Meski ada kebencian dari efek Tanam Paksa, justru pada tahun-tahun berikutnya rakyat Indonesia yang diuntungkan dalam pola pertanian yang dikembangkan Belanda. 
Di Bojonegoro misalnya, Belanda membangun banyak irigasi. Salah satunya Waduk Pacal dan sejumlah waduk lainnya. Ada juga Solo Valley yang digadang-gadang akan mengalirkan air dari Bengawan Solo untuk petanian wilayah bagian selatan Bojonegoro.
Tembakau yang diwariskan oleh Belanda hingga saat ini juga masih dinikmati oleh petani di Bojonegoro. Meski harga tembakau saat ini naik turun, tapi tembakau telah meningkatkan kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Dari tembakaulah, Bojonegoro dikenal di nusantara. Bahkan hingga mancanegara.  Hingga kini, tembakaulah yang menghidupi sebagian besar dari penduduk di Bojonegoro.
Belanda jelas penjajah. Namun penjajahan Belanda juga banyak mewariskan banyak keuntungan bagi rakyat Indonesia dan khususnya pertanian bagi Bojonegoro. Belanda memang mengeruk banyak dari hasil bumi Indonesia. Namun, Belanda juga memiliki visi untuk mengembangkan pertanian. Visi itulah yang hingga kini masih bisa dirasakan oleh rakyat Bojonegoro. Sebut saja, ada Waduk Pacal, sumur minyak tradisional, jati, tembakau, saluran irigasi dan masih banyak lagi. Bahkan, Belanda juga membangun pabrik tepung untuk roti di desa Gunungsari. Meski pabrik tepung di Desa Gunungsari dihancurkan saat Jepang datang ke Indonesia. 
Jati
Jati sebenarnya sudah lama tumbuh di Bojonegoro. Jauh sebelum Belanda datang ke Bojonegoro, pohon jati sudah tumbuh di Bojonegoro. Jati kini menjadi tanaman khas bagi Bojonegoro. Hampir 40 persen luas lahan di Bojonegoro ditanami jati. 
Bahkan Belanda membangun rel hingga ke pelosok bagian selatan Bojonegoro untuk mengangkut kayu jati. Kayu jati yang sudah berumur tua, ditebang lalu dibawa ke eropa melalui pelabuhan di Semarang. 
Di Temayang masih banyak ditemukan rel-rel tua bekas KA yang dibangun oleh Belanda. Bahkan stasiun besar Bojonegoro dibangun Belanda yang menghubungkan Bojonegoro dengan Semarang.  
Pohon jati yang berasal dari Bojonegoro terkenal dengan kayu jati terbaik. Di sejumlah tempat, seperti Universitas Leiden Belanda, kayu jati dari Bojonegoro menjadi penyangga penting bangunan. Bukan hanya di Belanda, tapidi sejumlah negara lainnya, seperti Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, kayu jati dari Bojonegoro merupakan kayu yang selalu diincar. 
Karena itu, kayu jati asal  Bojonegoro mulai dulu hingga kini menjadi kayu terbaik di dunia. Fungsi kayu jati bermacam-macam. Mulai dari furniture hingga rumah. 
Di Bojonegoro, masih banyak rumah warga yang dibangun dari kayu jati. Hasilnya, meski dibangun selama puluhan hingga ratusan tahun, kayu jati tetap kuat dan bertahan lama. 
F.    Pergerakan Organisasi dan Parpol  di Bojonegoro 
Serikat Islam
Serikat Islam (SI) yang digagas oleh HOS Tjokroaminoto ini muncul di Bojonegoro pada 1916. Saat itu Bupati Bojonegoro bernama Raden Adipati Aryo Kusumoadinegoro. SI berdiri untuk menghadang laju ekonomi pedagang China. Termasuk para pedagang China di Bojonegoro. SI adalah gerakan kemerdekaan pertama yang berdiri di Bojonegoro. SI berdiri pertama di Padangan. Mengapa muncul di Padangan? Karena penyebaran Islam di Bojonegoro bermula di Padangan. Yakni, saat Sultan Trenggono menjadi sultan Kerajaan Pajang. 
SI cabang Bojonegoro dipimpin oleh Moeshadi. Perkembangan SI di Bojonegoro sangat pesat. Bahkan awal berdiri di Bojonegoro pada 1913 sudah memiliki lima ranting. Yakni, Desa Payaman (Kecamatan Ngraho dan Tambakrejo), Desa Rowobayan (Kecamatan Padangan), Desa Mulyorejo (Kecamatan Balen, Pelem), Desa Sekaran (Kecamatan Balen, Pelem) dan Desa Patoman (Kecamatan Kanor, Pelem). 
Komunis
Saya ingin bercerita. Kisah ini saya pungut dari buku Sejarah Komunis Indonesia, Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948) yang diterbitkan oleh Pusjarah TNI. Buku ini sangat tebal karena terdiri atas lima jilid. Saya pesan buku ini dari seorang wakil rakyat berbaik hati membelikan untuk saya. Sebenarnya buku yang dibelikan keliru karena yang saya pesan buku Sejarah Komunisme Indonesia karya Ruth Mcavey yang diterbitkan Komunitas Bambu. Tapi justru karena salah membeli itu, saya akhirnya menemukan cerita tentang Bojonegoro.
*** 
Pukul 07.00, Senin Wage, 24 September 1945, ribuan rakyat Bojonegoro memadati alun-alun. Karasidenan Bojonegoro diproklamirkan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Proklamasi itu dibacakan oleh Residen Bojonegoro RMTA Soeryo.  Pernyataan bergabung dengan Negara Republik Indonesia karena rakyat saat itu belum percaya jika Indonesia telah menyatakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus.  
Tak lama setelah menyatakan  Karasidenan Bojonegoro bergabung dengan Negara Republik Indonesia, 12 Oktober 1945, RMTA Soeryo diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur. 
Siapa sebenarnya pemrakarsa bergabungnya karasidenan Bojonegoro dengan Negara Republika Indonesia? Namanya Mr Boedisoesetyo, seorang anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) dari Lamongan. Pada 2 September 1945, dia mendesak agar Karasidenan Bojonegoro segara diproklamirkan untuk mendukung Negara Republik Indonesia. Desakan itu disetujui oleh RMTA Soeryo. 
Setelah menjadi Gubernur Jawa Timur, RMTA Soeryo diganti Bupati Bojonegoro, Utomo sebagai Residen Bojonegoro. Pergantian ini tak disetujui oleh KNI. Akhirnya terjadi kekosongan Residen Bojonegoro. Kekosongan Residen ini dimanfaatkan oleh Amir Syarifuddin dengan memasukkan kader komunis menjadi Residen Bojonegoro. Pada 17 November ditunjuk Hindromartono sebagai Residen  Bojonegoro. Hindromartono merupakan orang dekat Amir Syarifuddin, Dia yakin, jika Karasidenan Bojonegoro maka PKI dapat menguasai wilayah bagian barat dari Jawa Timur dan bagian paling timur dari Jawa Tengah.  
Hindromartono lalu mengubah tradisi di Karasidenan. Kata ‘tuan-tuan’ yang biasa digunakan untuk   menyebut pejabat, diubah menjadi ‘saudara-saudara’. Agak terdengar kurang akrab di telinga pejabat karasidenan saat itu. Bagi Hindromartono, kata ‘tuan’ menandakan ada kelas, ada strata dalam birokrasi di Bojonegoro. Karena itu, perubahan bahasa panggilan itu dapat mengubah sistem kelas di birokrasi.  
Residen Hindromartono memang berlatar komunis ingin mengubah  tradisi dari yang paling sederhana, yakni bahasa. 
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai yang gigih untuk memasukkan kadernya sebagai penguasa-penguasa lokal. Bukan hanya di Bojonegoro yang ingin dikuasai. Wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Cirebon, Tegal dan Pemalang merupakan daerah yang ingin dikuasai PKI. Caranya pun bukan sekadar merebut kekuasan dengan senjata. Namun, juga dengan cara yang halus seperti menempatkan kader sebagai Residen Bojonegoro. Di Cirebon, kekuasaan direbut dengan cara pemberontakan lokal. Begitu juga di Tegal. Nah, di Bojonegoro inilah, peralihan Residen direbut tanpa ada pemberontakan. 
Meski hanya dua tahun (1945-1947), kekuasaan komunis Hindromartono di Bojonegoro merupakan paling lama ditingkat lokal dibandingkan daerah lain. Pada Juli 1947, dia didepak sebagai Residen Bojonegoro. Namun, Amir Syarifuddin masih sayang dengan kadernya itu. Lepas sebagai Residen Bojonegoro, Hindromartono sebagai Menteri Negara Urusan Kepolisian dalam kabinet Amir Syarifuddin.
Menempatkan kader sebagai penguasa lokal telah dilakukan PKI pada pascakemerdekaan. Tujuannya makin banyak penguasa lokal maka makin mudah menyebarkan ideologi kepada rakyat. Cara itu sebenarnya dicontoh oleh partai-partai di Indonesia saat ini. Yakni, dengan merebut kekuasaan di tingkat kabupaten melalui pilkada. 
Kekuasaan memang selalu menggiurkan, padahal itu amanat yang luar biasa berat. Menjadi penguasa, seperti kue, dia masih enak diperebutkan. Lalu dimakan sendiri.
G.    Tokoh Pergerakan di Bojonegoro
Samin 
Namanya Matthijs Waterloo. Jabatannya, Residen Yogyakarta. Saya membaca kisah ini di buku Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey.  
Saat itu yang memimpin Kesultanan Yogyakarya adalah Sultan Hamengkubuwono II.  Pada pertengahan April 1808 dia menulis kepada Gubernur Hindia Belanda yang baru bernama Herman Wilem Dandels yang menggantikan Albertus Wiese. 
Dalam surat itu, dia berharap Dandels menyerobot tanah di wilayah timur kekuasaan Yogyakarya. Termasuk wilayah Jipang Panolan. Yakni, Blora, Padhangan, Rajegwesi dan Buwerno.  Isi surat itu sebenarnya adalah pemisahan yang jelas lahan yang dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta dan tanag pemerintah Belanda. 
Sederhana pertimbangannya, wilayah Jipang Panolan tumbuh jutaan kayu jati. Karena itu, jika Belanda berhasil menyerobot wilayah Jipang Panolan maka jutaan kayu jati akan menjadi hak milik Belanda.  
Dandels yang ditugasi oleh Kerajaan Belanda melindungi Jawa dari Inggris setuju dengan ide Waterloo. Mengapa Jawa? Karena Jawa pada abad ke-17 merupakan daerah yang belum mampu direbut oleh Inggris. Tiga wilayah Jipang Panolan. Yakni, Padhangan, Rajegwesi dan Buwerno akhirnya menjadi satu nama, yakni Bojonegoro. 
Setelah merebut tanah wilayah Jipang Panolan, Belanda lalu merebut jutaan hektar tanaman kayu jati di wilayah Blora, Rembang, hingga Bojonegoro.  Kayu-kayu jati itu dikirim oleh Belanda ke Eropa melalui dermaga di Rembang. Dari sekian banyak kota di pesisir utara Jawa saat itu, Rembang termasuk yang masih belum dikuasai Inggris. Bahkan untuk melancarkan upaya Belanda mengirim semua hasil bumi Indonesia ke Eropa, Dandels yang dikenal bengis itu membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan.  
Kayu-kayu jati dari Bojoneororo dan Blora menjadi kebutuhan utama bagi bangsa Eropa. Revolusi industri di Eropa sedang hangat-hangatnya. Kebutuhan kayu untuk bangunan rumah dan industri sangat diminati di Eropa. Termasuk ke Belanda sendiri. 
Selama puluhan tahun, Belanda menguras habis kayu jati dari Blora dan Bojonegoro. Tak ada perlawanan dari rakyat. Rakyat tak berani melawan Belanda. Lalu sekitar awal-awal abad 18, muncul benih perlawanan. 
Namanya Raden Kohar atau biasa disebut Samin Surosentiko. Lahir pada 1859 di Klopoduwur Blora. Samin mengajarkan ajaran yang bersumber dari kitab Jimah Kalimasada. Awalnya hanya dianggap sebagai aliran kebatinan oleh Belanda. Namun, pada awal-awal 1900an. Samin menjadi sebuah kekuatan baru terhadap perlawanan Belanda. 
Kekayaan alam berupa kayu jati yang dikuras habis oleh Belanda membuat Samin geram. Namun, kemarahan Samin tidak meledak menjadi kekuatan bersenjata. Samin memberi perintah kepada pengikutnya agar tak membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Perintah ini dituruti oleh pengikutnya. 
Bagi Samin, kekayaan alam kayu jati ini adalah warisan dan milik sah anak cucu bangsa ini. Kayu jati tak boleh menjadi milik asing.
Belanda was-was karena pengikut Samin bukan hanya segelintir orang saja. Namun, jumlah pengikut Samin mencapai ribuan orang. 
Belanda yang licik pun menggunakan akal busuknya. Samin dan sejumlah pengukutnya ditangkapi. Lalu dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Pada 1914, Samin pun meninggal dunia di Padang.  
Meski dibuang di Padang. Semangat melawan Belanda tanpa kekerasan tetap diteruskan oleh pengikut Samin. Mereka yang tak membayar pajak bukan hanya di Blora dan Bojonegoro saja.  Para pengikut Samin di Madiun hingga Pati pun menolak membayar pajak kepada Belanda. Belanda pun tak berkutik dengan perjuangan para pengikut Samin tersebut.
Namun, sejarah berulang lagi. Blora dan Bojonegoro memiliki sumber minyak bumi yang jumlahnya lumayan besar. Kini, diam dan tak membayar pajak seperti yang dilakukan Samin ternyata juga tak menjadikan solusi. Karena tak membayar pajak, berarti tak taat kepada pemerintah. Apalagi jika melawan kekuatan asing yang sangat besar, kita seperti bertarung melawan ruang hampa. Kita hanya bisa teriak tapi tak didengarkan suara kita. 
Sasradilaga 
Keharuman Rajekwesi adalah keharuman sejarah jadi terbukti, berbeda engan keharuman Malawapati dibawah kuasa raja Anglingdarma yang berbau mitos oleh karena ilmu sejarah tak berhasil menemukan fakta yang dapat dipergunakan menjadi bukti pegangan bagi kebenaran Sejarah Kerajaan Malawapati…( (Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa, 1988)
Pembaca yang budiman, apakah Anda pernah membaca buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa)? Saya yakin belum banyak para pembaca yang membacanya. Bahkan mungkin belum tahun bentuk buku tersebut. 
Saya yakin juga guru sejarah di kelas tak pernah mengajarkan kepada siswanya tentang sejarah lokal yang bersumber dari buku tersebut. Yang mereka tahu tentang sejarah kerajaan di Nusantara,  tapi sejarah kabupaten sendiri mungkin tak mengetahui secara benar.
Saya berharap Bupati Bojonegoro Kang Yoto yang belum membaca buku tersebut, segera membaca buku tersebut. Buku sejarah Bojonegoro tersebut dapat menjadi buku pelengkap buku CLM Panders, Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia. Dalam versi Indonesia yang diterjemahkan secara pribadi oleh Albard Khan, buku itu berjudul Bojonegoro 1900-1942 Kisah Kemiskinan Endemik Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. 
Buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro diterbitkan pada masa Bupati Soejito pada Juni 1988. Disusun oleh panitia penggali dan penyusun sejarah hari jadi yang dibentuk oleh pemkab saat itu. 
Buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro merupakan kekayaan yang luar biasa bagi siswa dan generasi muda Bojonegoro. Mereka harus tahu sejarah lokal Bojonegoro. Sebab faktanya, siswa di Bojonegoro ternyata tak banyak yang tahu sejarah Bojonegoro yang sebenarnya. 
Saya akan kutip sedikit sejarah perlawanan rakyat Bojonegoro terhadap Belanda yang luar biasa. Di buku itu disebutkan, heroisme rakyat Bojonegoro mendukung Pangeran Diponegoro dalam perang pembebasan Jawa.  
Pada 1825, saat itu di Jipang yang beribukota di Padangan. Rakyat Jipang mengorganisir diri membentuk kelompok-kelompok pasukan untuk mendukung sepenuhnya Pangeran Diponegoro melawan dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Sikap patriotik rakyat Jipang ini didukung sepenuhnya oleh Pangeran Diponegoro.  Sikap heroisme rakyat Jipang lalu diapresiasi Pangeran Diponegoro. Diponegoro lalu mengirim orang paling dekatnya, yakni Raden Tumenggung Sasradilaga. Sasradilaga yang menjadi tokoh pembebasaan rakyat Jipang dari penindasan Belanda.
Rajekwesi yang saat itu dikuasai oleh Belanda berhasil dibebaskan oleh Sasradilaga. Sasradilaga akhirnya menjadi Bupati Bojonegoro pada 1827-1828. Masjid Darussaalam di Kota Bojonegoro dibangun juga berkat dari usaha Sasradilaga. 
Takluknya Rajekwesi ditangan pasukan Sasradilaga membuat cemas Belanda.  Lalu Belanda mengirim 2.000 pasukan ke Rajekwesi. Kota Rajekwesipun porak-poranda dibumihanguskan Belanda. Sasradilaga dan pasukan lalu melanjutkan perang gerilya melawan Belanda.
Belandapun mengganti nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro. Kotannya pun digeser ke utara, dekat dengan Bengawan Solo. Menjadikan Bengawan Solo menjadi transportasi utama Rajekwesi-Babad-Lamongan-Surabaya. 
Ada perbedaan pandangan terkait nama Bojonegoro. AD Cornets de Greet dari Islandche Zaken menyebut boojho dari bahasa Kawi yang berarti makan, dan negoro berarti tempat, pemerintah. Jadi Boojhonegoro adalah tempat memberi makan yang sah.  
Lalu ada pandangan lain yang menyebutkan, kata boodjo atau bodjo bermakna istri. Jadi Bojonegoro bermakna istri yang setia kepad negoro. Jadi Bojonegoro adalah kesetiaan kepada negara. Yakni pusat pemerintahan Belanda saat itu di Batavia.  Jadi, nama Bojonegoro adalah pemberian Belanda. Bukan berasal dari Bojanegara, yang menjadi salah satu nama lokasi dalam cerita Anglingdarma.
Mengapa Belanda mengubah Rajekwesi menjadi Bojonegoro? Karena perlawanan rakyat yang dipimpin Sasradilaga membuat Belanda takluk. Satu-satunya perlawanan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan  berhasil menaklukkan Belanda adalah di Bojonegoro. 
Karena itu, Belanda secara politis harus membuat kota baru untuk mengubur Rajekwesi. Nama Rajekwesi perlu diganti, agar rakyat tak ingat kekalahan Belanda dari Sasradilaga.  
Maka dibangunlah kota baru dan memindahkan lokasi Rajekwesi di tepi Bengawan Solo. 
Pembaca yang budiman, jika sejarah ini sebagai teladan bagi generasi muda, nama Sasradilaga layak sebagai tokoh ikon Bojonegoro. Sasradilaga terbukti mampu membebaskan Rajekwesi dari cengkeraman Belanda. Sasradilaga juga menjadi insprasi rakyat melawan Belanda. Barangkali layak juga ada nama Laskar Sasradilaga.  

Kartosuwiryo
Ada banyak sebenarnya, tapi menurut saya ada dua orang yang cukup mempengaruhi pergerakan nasional. Sebut saja tokoh pers nasional Tirto Adhi Soerjo yang lahir di Blora dan tumbuh di Bojonegoro. Ada tokoh komunisme juga Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu. Dan Sekarmaji Maridjan Kartosuwirjo, tokoh Negara Islam Indonesia (NII) yang lahir di Cepu dan tumbuh di Bojonegoro. Saya mungkin luput menyebut sejumlah tokoh lainya,sehingga Anda berhak untuk menambah daftar tokoh pergerakan nasional di Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan Blora.  
Tanah yang tandus seperti Blora dan Bojonegoro ternyata menjadi lahan tumbuh dan berkembangnya sejumlah tokoh yang ikut mempengaruhi pergerakan nasional. Tirto Adhi Suryo ditulis lengkap oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah  Kaca. Juga ada tulisan biografi Tirto Adhi Suryo yang ditulis dalam Sang Pemula. Sedangkan Kartosuwirjo yang mendirikan NII, biografinya dicatat dalam buku Darul Islam (Sebuah Pemberontakan) karya Van Dijk dan Pemikiran Kartosuwirjo karya Al Chaidar.   
Kartosuwirjo beruntung. Karena saat belajar kepada tokoh Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto di Surabaya, dia satu pondokan dan satu pendidikan bersama presiden RI 1 Soekarno dan tokoh komunisme Semaun.  
Tjokroaminoto berhasil mendidik para muridnya menjadi tokoh nasional. Menariknya ketiga muridnya, yakni Soekarno, Semaun dan Kartosuwirjo memilih jalan hidup ideologi yang berbeda-beda Namun tujuannya sama, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari tiga tokoh itu, Soekarno dan Semaun telah banyak jejak yang menelusurinya. Bahkan,keduanya memiliki banyak massa yang tak sedikit pada zamannya hingga kini.  Namun, bagaimana dengan tokoh NII Kartosuwirjo? Padahal, Kartosuwirjo dan NII menginspirasi sebagian umat Islam mendirikan Daulah Islamiyah di Indonesia. Hingga ngebet-nya mendirikan NII di Indonesia mereka pun kerap menempuh jalan kekerasan, seperti aksi bom bunuh diri.  Majalah Tempo edisi khusus Kemerdekaan yang menurunkan laporan tentang Kartosuwirjo. Siapa sebenarnya Kartosuwirjo? Dia lahir di Cepu, Blora Jawa Tengah. Anak seorang mantri candu di Cepu. Dari laporan Tempo berhasil menelusuri, Kartosuwirjo menempuh pendidikan elite khusus anak Belanda Europeesche Lagere School di Bojonegoro. Kehidupan keluarga Kartosuwirjo sebenarnya bukan keluarga yang relijius tapi justru cenderung abangan. Pamannya Mas Marco Kartodikromo adalah tokoh Sarekat Islam yang cenderung merah. Sehingga Kartosuwirjo juga cenderung membaca buku-buku berhaluan kiri. Namun dari catatan Tempo, saat menempuh pendidikan di Bojonegoro, Kartosuwirjo sempat belajar agama kepada tokoh Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam Indonesia di Bojonegoro. Namanya Notodiharjo.
Tirto Adie Soerjo
Ada jejak pahlawan yang luar biasa di Bojonegoro. Saya katakan luar biasa, karena dia melawan kolonialisme tak menggunakan senjata. Tapi menggunakan pena untuk mencerahkan dan membuka kesadaran anak bangsa. Namanya Tirto Adhie Soerjo.  Sayang hingga kini, nama Tirto Adhie Soerjo tak setenar Soekarno dan Mohammad Hatta. 
Jika Anda pernah membaca buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, di bab pertama ada sebuah puisi sederhana. Puisi ditulis oleh Priatman dalam buku Perdjoengan dalam Sedjarah. Judul puisinya Lentera, ditulis ulang pada 24 Agustus 1962. Pada bait pertama tertulis:
Raden Mas Tirtoadiesoerjo
Nama kecilnya Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro
……….
Tirto Adhie Soerjo, haqul yakin nama ini asing di telinga guru sejarah dan pelajar di  Bojonegoro, mungkin sama sekali tak mengenalnya. Ah atau jangan-jangan pejabat dan wakil rakyat Bojonegoropun tak mengenalnya. 
Tirto Adhie Soerjo adalah Bapak Pers Indonesia. Dia adalah pengelola koran pribumi pertama di Indonesia pada zaman kolonialisme, yakni Medan Prijaji. 
Tirto Adhie Soerjo sebenarnya lahir di Blora. Tapi di Blora hanya numpang lahir saja. Dia lahir pada 1880. Sejak bayi, dia sudah kehilangan orangtuanya.
Karena itu, mulai bayi, dia diasuh oleh neneknya, Raden Ayu Tirtonoto. yang tak lain adalah istri dari Bupati Bojonegoro RMT Tirtonoto. Saat itu sebelum 1827, Bojonegoro bernama Rajekwesi.  
Nama kecil Tirto Adhie Soerjo adalah Djokomono.  Tak banyak yang tahu cerita masa kecil dari Tirto Adhie Soerjo.  Dia pun tak banyak bercerita atau menulisnya. Hanya diceritakan, lahir di Blora, masa balita hingga sekolah dasar di Bojonegoro, lalu ke Madiun, Rembang, Bogor dan Jakarta.   
Di Bojonegoro, dia sekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Tentu saja, Tirto Adhie Soerjo beruntung karena dia anak priyayi. Dia dapat menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Di sekolah itu, dia mendapatkan pengetahuan yang cukup. Pengetahuan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi kelak untuk membuka kesadaran bagi anak bangsanya.   
Semasa dia kecil, pengaruh neneknya sangat kuat terhadap Tirto Adhie Soerjo. Neneknya membentuk Tirto Adhie Soerjo memiliki karakter percaya diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri,tidak takut kemiskinan, tidak takut tak berpangkat, dan tidak menjadi peminta. 
Nah, ajaran Raden Ayu Tirtonoto itu sebenarnya masih relavan hingga kini. Ajaran yang sesungguhnya melampui zamannya saat itu. Ajaran itu penting disampaikan kepada para siswa di sekolah.  
Ajaran tidak menjadi peminta, sama seperti yang kerap disampaikan Kang Yoto dalam beberapa kesempatan. Yakni, agar kita beralih dari mental peminta menjadi pemberi. 
Contoh mental peminta adalah sedikit-dikit bikin proposal mengajukan bantuan kepada pemerintah. 
Ajaran memberi dan berbagi diajarkan oleh agama apapun. Sebab inti agama sebenarnya adalah bermanfaat bagi semua. Tirto Adhie Soerjo paham benar dengan petuah neneknya tersebut. Karena itu, dia menyakini kemampuan dirinya adalah berjuang melalui pers. Dia gunakan pers untuk menyadarkan kejamnya kolonialisme. Untuk itu, kolonialisme harus dilawan.  
Beberapa tahun lalu, saya sempat bertemu dengan salah satu keturunan Tirto Adhie Soerjo. Ada banyak impian dan idealisme saat itu untuk mengenang nama Tirto Adhie Soerjo di Bojonegoro. Sayangnya impian itu kandas. Sebab, dia terburu harus balik lagi ke Jakarta. 
Nama Tirto Adhie Soerjo, layak untuk menjadi nama gedung, jalan, atau apapun di Bojonegoro. Dia juga layak diajarkan di sekolah-sekolah di Bojonegoro. Agar siswa bangga, bahwa Bojonegoro ada jejak sejarah seorang pahlawan besar. Tirto tak layak dilupakan oleh masyarakat Bojonegoro, dia layak untuk terus diingat dan diteruskan perjuangannya.   
Nama Tirto Adhie Soerjo memang jarang disebut dalam pelajaran sekolah. Apalagi guru sekolah di Bojonegoro, haqul yakin malah belum banyak yang tahu nama Titro Adhie Soerjo. Namanya memang tak setenar para pejuang lainnya, seperti Tjut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Soekarno dan M Hatta. Padahal. Sesungguhnya Tirto Adhie Soerjo juga berperan besar memberikan pencerahan dan membuka mata rakyat bergerak meraih kemerdekaan. Tulisan-tulisan Tirto Adhie Soerjo yang bernas itu dituangkan di koran Soenda Berita (1903) dan Medan Prijaji (1907). 
Tirto Adhie Soerjo adalah orang asli dari Bojonegoro. Cucu dari Bupati Bojonegoro RMT Tirtonoto. Mas kecilnya dihabiskan di Bojonegoro bersama kakek dan neneknya. Setelah nenaknya meninggal dunia, dia pindah ke Madiun mengikuti saudra kakeknya yang juga Bupati Madiun, RMA Brotodiningrat. Di Madiun, dia sekolah di ELS, lalu pndah ke Batavia (Jakarta sat ini) sekolah di HBS dan menuntaskan studi di STOVIA. 
Sejarah singkat Tirto Adhie Soerjo, saya peroleh dari seorang teman. Catatan itu merupakan draf dari embrio buku biografi Titro Adhie Soerjo. Diberikan kepada saya dua tahun lalu. Namun sejarah lengkap Tirto Adhie Soerjo telah saya baca di tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer. Yakni, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Pram menjadikan Tirto Adhie Soerjo sebagai tokoh utama dalam empat novelnya yang cukup terkenal tersebut. Dalam buku Sang Pemula, Pram mengungkapkan jati diri sebenarnya siapa Minke sebagai tokoh utama dalam tetraloginya. Minke adalah Tirto Adhie Soerjo. 
Hidup Tirto Adhie Soerjo adalah menulis. Dia mengawali menulis pada pada usia 13-14 tahun. Tulisan-tulisannya dikirim ke media yang dikelola oleh pemerintah Hindia-Belanda. Sejak tulisannya dimuat, dia mulai menikmati dunia jurnalistik.  Tirto Adhier Soerjo memulai karir jurnalistik sebagai penulis lepas di surat kabar Chabar Hindia Olanda (1888-1897) di Batavia. 
Guru jurnalistiknya adalah orang Belanda yang mengelola koran Pembrita Betawi (1884) bernama Karel Wijbrans. Pembrita Betawi awalnya Koran yang menulis aktivitas Belanda di Batavia. Namun saat Tirto Adhie Soerjo emnjadi pemimpin redaksinya, Pembrita Betawi juga menulis penderitaan rakyat Indonesia dijajah Belanda. 
Pada 1903, Tirto Adhie Soerjo mundur dari Pembrita Betawi. Dia lalu mendirikan Koran Soenda Berita di Cianjur Jawa Barat. Soenda Berita dibiayai oleh bupati Cianjur saat itu. Tirto Adhie Soerjo mengklaim Soenda Berita merupakan koran pertama yang dimiliki oleh pribumi.
Lepas dari Soenda Berita, Tirto Adhie Soerjo mendirikan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Koran ini satu-satunya yang dibiayai oleh pengusaha pribumi. Statusnya perusahaan korannya sudah perseroan. 
Medan Prijaji menjadi media ajang pertarungan kamum pribumi menggelorakan semangat merebut kemerdekaan dari Belanda. 
Oleh sebagian kalangan pers, berdirinya Medan Prijaji seharusnya ditandai sebagai Hari Pers Nasional. Alasannya, Medan Prijaji membuktikan diri kemandirian pers yang dikelola bangsa ini. Medan Prijaji mampu menyemaikan  semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Dia benar-benar menjadi pers yang berpihak kepada rakyat. Karena itu sebenarnya, Medan Prijaji sebenarnya layak sebagai tonggak  kelahiran pers nasional. Apalagi, Tirto Adhie Soerjo, menurut Pram memang layak disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Namun ada sebagian kalangan pers yang masih memperingati hari pers pada 9 Februari. Karena pada 9 Februari adalah hari lahirnya salah satu lembaga pers nasional. 
Saya kira sudah selayaknya, pemkab Bojonegoro memberikan penghargaan kepada Tirto Adhie Soerjo. Tekad Tirto Adhie Soerjo memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari kolonialisme melalui pers telah dibuktikannya. Kisah tentang Tirto Adhie Soerjo juga bukan fiktif. Ketimbang tetap memelihara mitos  Anglingdarma yang membodohi rakyat, lebih baik memberikan penghargaan kepada putra Bojonegoro, Sang Pemula Tirto Adhie Soerjo.        
H.    Sejarah Transportasi Utama di Bojonegoro
Buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe karya Oliver Johannes Raap. Buku tersebut dicetak sangat lux. Kertasnya bagus dan setebal 208 halaman. Buku itu merupakan potret pekerja  di Jawa pada masa 1890-1940an. Buku tersebut sebenarnya adalah kumpulan foto dan kartu pos koleksi Oliver. Dia ternyata sangat gigih mencari foto dan kartu pos kuno. Bukan hanya didapat dari berburu di kolektor di online saja, tapi juga berburu hingga ke pasar loak. Butuh waktu hingga 8 tahun dia memburu foto dan kartu pos kuno tersebut.  
Oliver adalah orang Belanda. Sehari-hari adalah pedagang buku. Dia datang ke Indonesia pada saat terjadi krisis moneter. Dia lalu belajar Bahasa Indonesia dan tentu saja belajar Bahasa Jawa. Dalam keseharian dia minta dipanggil Mas Oli, bukan Meneer Oli.
Yang menarik dari buku karya Oliver tersebut adalah foto alat transportasi khas Jawa pada zaman dulu. Yakni cikar atau dokar atau delman. Di foto itu ada seorang perempuan yang sedang menggendong alat di depan cikar, lalu di cikar ada penarik pedatinya. Di belakang penarik pedati ada penumpang anak-anak.  
Cikar atau dokar adalah kendaraan khas Jawa zaman dulu. Saat ini cikar biasa digunakan untuk mengangkut batang padi kering atau damen. Dan penarik cikar adalah sapi. Namun di koleksi foto Oliver ditulis, cikar tersebut ditarik oleh kuda. Bedanya, cikar penutup ruang untuk penumpang lebih tinggi, sedangkan dokar lebih rendah. 
Saat ini cikar atau dokar masih banyak kita temui di pasar-pasar kecamatan. Sering jika saya pulang ke Gunungsari, saya ajak anak-anak naik dokar dari Gunungsari ke Baureno.  
Lalu, apa keistimewaan cikar dari Bojonegoro yang termuat dalam buku Oliver tersebut? Keistimewaan cikar Bojonegoro adalah memiliki per. Fungsi per itu sebagai suspensi sehingga membuat nyaman penumpang cikar.  Bisa jadi karena sebagai alat transportasi satu-satunya maka pemilik cikarpun memodifikasi agar para penumpang nyaman. 
Sebelum museum Rajekwesi yang satu kompleks dengan kantor Dinas Pendidikan Bojonegoro dibongkar, ada satu dokar atau cikar yang dipajang di museum tersebut. Cikar per khas Bojonegoro adalah salah satu bukti sejarah dan budaya di Bojonegoro. Selayaknya cikar per tersebut mendapatkan tempat yang layak, sebagai bukti Bojonegoro memiliki alat transportasi yang handal. 
Pembaca yang budiman, saya sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Oliver patut mendapatkan apresiasi. Orang Belanda memang orang-orang hebat mendokumentasikan arsip. Mereka rela untuk blusukan hanya untuk mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah yang berserakan. Lalu dikumpulkan, dijadikan buku dan menjadi kajian sejarah yang menarik. 
Kita sebenarnya cukup beruntung dijajah oleh Belanda. Meski semua penjajahan adalah kriminalitas. Namun Belanda juga mampu menyimpan arsip bangsa ini secara baik. 
Semua aktivitas, kegiatan dan hal-hal sepele saat menjajah Indonesia  dicatat baik oleh Belanda. Buku CLM Panders Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia sebenarnya adalah studi literatur saja. Penders tak pernah datang ke Bojonegoro. Namun, dia mampu menulis detail tentang Bojonegoro. Seolah Penders menggali datanya dari sumber aslinya di Bojonegoro. Ternyata data yang diperoleh Penders berasal dari kumpulan arsip yang masih tersimpan rapi perpustakaan Universitas Leiden.
Sayangnya, keteladanan Belanda menyimpan arsip secara baik ini tak menular ke bangsa Indonesia. 
Lihat saja, saat Anda ke kantor dinas pemerintah atau ke ruang guru di sekolah, maka yang Anda lihat adalah tumpukan kertas dan map. Keliatan tak rapi dan agak kotor. Setelah sekian lama tak digunakan, tumpukan kertas itu lalu diloakkan.
Bukan hanya kertas, tapi juga foto dan video yang merekam jejak aktivitas dan denyut kota ini terasa tak disimpan rapi oleh pemerintah. 
Dari hal yang paling sepele saja, yakni mengarsipkan jejak sejarah kota ini, terasa sudah menunjukkan identitas pengelolaan pemerintah yang sebenarnya. Yakni, bukan sebagai pemelihara yang baik. 
Bangsa-bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu mengelola dan menyimpan serta merawat arsip sejarah mereka dengan baik. Otomatis mereka juga pemelihara yang baik. Bangunan, jalan, jembatan dan apapun dirawat dengan baik. Merawat arsip sama juga merawat akal sehat. Bukan hanya untuk saat ini saja tapi juga generasi selanjutnya.  
Dari hal yang sepele, merawat arsip akan menunjukkan identitas kita sebenarnya, sebagai pemelihara atau perusak. 
I.    Sejarah Infrastruktur Pengairan di Bojonegoro
Waduk Pacal 
Waduk Pacal dimulai pembangunannya pada waduk Pacal pada 30 Agustus 1927 yang menelan biaya hingga 1,2 juta gulden. Ribuan rakyat Bojonegoro dikerahkan oleh Belanda untuk membangun Waduk Pacal. 
Waduk Pacal adalah bagian dari politik etis yang diterapkan Belanda di bidang pertanian. Untuk membangun Waduk Pacal, sempat terjadi perdebatan sengit antara kubu konservatif dan liberal di Parlemen Belanda. Hasilnya, Belanda akhirnya membangun Waduk Pacal di Desa Kedungsumber Kecamatan Temayang. 
Belanda bukan hanya membangun Waduk Pacal. Tapi juga waduk di Sukosewu. Namun yang di Sukosewu lebih kecil. Waduk Pacal merupakan waduk paling besar yang dibangun Belanda di Bojonegoro. 
Hingga kini, Waduk Pacal yang berisi 20 juta meter kubik air ini mampu mengairi lahan pertanian di 10 kecamatan di Bojonegoro. Mulai dari 
J.    Sejarah Gerakan Kesenian dan Kebudayaan di Bojonegoro 
Seberapa penting kebudayaan dan kesenian menjadi bagian dari strategi pembangunan?  Seorang kawan karib dari Jogjakarta saat bertandang ke Bojonegoro membawakan saya sebuah buku yang sangat menarik. Judulnya Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Penerbitnya Merakesumba dan terbit pada 2008. Buku setebal 580 halaman itu  hingga kini termasuk buku yang dilarang dibaca dan  beredar oleh Kejaksaan Agung. Buku ini adalah kumpulan dari Lembaran Kebudayaan yang terbit di Harian Rakjat pada 1950-1965. Lembaga Kebudayaan Rakyat atau disingkat Lekra adalah lembaga kebudayaan yang tumbuh pasca-kemerdekaan RI. 
Saya sudah lama memesan buku ini kepada teman saya tersebut. Saya ingin membacanya sebagai kajian keilmuan. Namun, ada alas an kuta saya ingin membaca buku ini. Yakni, ditulis dalam buku ini, pada 29 Desember 1954, Wakil Ketua Lekra saat itu, Njoto pernah datang ke Bojonegoro. 
Saat datang ke Bojonegoro, Njoto pidato di Gedung Bioskop Rajekwesi. Isinya pidatonya, Lekra  mencemaskan para kaum muda Indonesia yang lebih senang meniru kebudayaan barat ketimbang kebudayaan Indonesia.  Dia mengajak kaum muda kembali ke identitas nasional, yakni kebudayaan Indonesia. 
Bojonegoro, bagi Njoto,  adalah bagian penting dari Lekra. Tak percaya? Dulu pada revolusi Agustus 1945, seorang pahlawan kemerdekaan bernama Matekram mendirikan grup seni ludruk Suluh Massa. Semula nama grup ini adalah Bintang Merah. Lalu diganti menjadi Suluh Massa. Matekraman gugur dalam perang mempertahankan Bojonegoro melawan penjajah Belanda. Buku Lekra Tak Membakar Buku  menulis, Bintang Merah sejak 1955 keliling ke pelosok desa dan pegunungan di Bojonegoro. Pentas ludruk Bintang Merang selalu dipadati ribuan penonton. Lakon yang dipentaskan bersumber dari cerita-cerita rakyat, seperti  Pak Sakerah dan Sawunggaling. Bahkan, saat pentas, ada tarian yang sangat populer, yakni tari Blondjo Wurung.  Nama Bintang Merah lalu diganti nama menjadi Suluh Massa. Harapannya, ludruk dapat menjadi penyuluh dan pembawa obor bagi rakyat.Oleh Harian Rakjat pada 2 Januari 1964 menulis Suluh Massa mampu merebut hati rakyat Bojonegoro. Karena itu, Harian Rakjat menilai Suluh Massa adalah bagian sangat penting dalam strategi kebudayaan mencintai kesenian rakyat. 
Salah seorang tokoh kesenian Bojonegoro saat ini yang  masih menjabat sebagai kepala desa di Kecamatan Temayang membenarkan jika pada 1950-an Bojonegoro sangat kuat dan populer kesenian rakyat.  Dia bercerita kepada saya, saat kecil dirinya sering dilatih menari dan pemain ketoprak keliling atau kerap disebut wayang tobong. Kakak kepala desa itu merupakan salah seorang tokoh Lekra di Bojonegoro. Wayang tobong menjadi hiburan rakyat. Dalam cerita ketoprak itu juga diselipkan pesan kerakyatan agar rakyat terus mencintai kesenian bangsa sendiri. Lagu-lagu perjuangan juga dikumandangkan untuk merebut hati rakyat.  
Saat itu tak ada lembaga kebudayaan yang sehebat Lekra. Lembaga kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1950 di Solo ini mempunyai anggota di hampir seluruh kabupaten di seluruh Jawa. 
Lekra menolak tegas kebudayaan yang tak sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Menariknya, bukan kaum ulama yang saat itu menolak tegas kebudayaan barat seperti film masuk ke Indonesia tapi justru dari kaum kesenian rakyat. Lekra menilai film-film saat itu yang diputar di Indonesia tak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Film yang diputar justru mempertontonkan kebudayaan yang tak selaras dengan bangsa Indonesia. Akibatnya, generasi muda tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Generasi muda pun kehilangan identitas mencintai kesenian rakyat. Lihatnya tontonan kesenian rakyat tak lagi semeriah dulu. Mereka yang masih menjadi pelaku kesenian rakyat seperti berjalan sunyi. 
Namun berhasilkah strategi Lekra melawan kebudayaan asing? Sungguh saya masih harus banyak belajar untuk menjawabnya.  Sebab, kita hidup pada zamannya masing-masing. Zaman saya berbeda dengan zaman Lekra hidup. Dulu keran kapitalisme belum segencar saat ini. Televisi dengan beragam acara yang kadang menjijikkan sudah setia menemani masyarakat di rumah. 
Ada strategi Lekra menjadi salah satu kunci Lekra menjadi lembaga dicintai rakyat pada zaman itu. Yakni, strategi turun ke bawah atau turba. Dalam catatan salah satu tokoh Lekra, Utuy Tatang Sontani di Harian Rakjat 27 Februari 1962, dia menulis turba berarti kita berguru kepada massa…Kita malahan tak hanya berguru kepada massa-kita berguru kepada massa sebagai murid ketjil. Pesannya sederhana sebenarnya dari tulisan ini, agar dicintai rakyat bergurulah kepada rakyat. Berguru adalah memahami dunia batin rakyat. 
PSJB dan Perlawanan Kecil
Ditengah riuh politik di Bojonegoro yang menjemukan, Ada syukuran sederhana yang menandai sejarah kecil Bojonegoro. Penanda itu bukan sejarah politik. Namun sejarah ‘perlawanan’ kecil terhadap arus besar kapitalisme yang kini mulai menerjang Bojonegoro.
Mengapa saya sebut ‘perlawanan kecil’? Karena ditengah kapitalisme yang tumbuh subur dan riuh politik kacangan di Bojonegoro, Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) PSJB masih tetap eksis sampai detik ini. Eksis bukan sekadar nama saja, tapi juga karya-karya yang bukan hanya nasional tapi juga internasional. Karya para penulis PSJB juga memberikan banyak warna baru dalam kancah sastra Jawa di Indonesia.   
Tahun 2015, PSJB memasuki usia 30-an. PSJB merayakan syukuran sederhana ulang tahun ke-30. Usia 30 tahun, tentu bukan usia yang kemarin sore. Namun, usia yang sudah cukup lama. PSJB bukan hanya sebagai penjaga dari sastra dan kebudayaan Jawa di Bojonegoro. PSJB sesungguhnya adalah ikon dari Bojonegoro. Sebagai ikon, PSJB seharusnya juga ikut dijaga bukan hanya oleh penggeraknya saja, namun juga oleh pemerintah, dan seluruh komponen masyarakat termasuk media. 
Bukti bahwa PSJB sebagai ikon adalah dalam ultahnya ke-30 hadir para ikon-ikon kebudayaan Bojonegoro. Ada pembuat wayang thengul khas Bojonegoro Santoso dan dalangnya Pak Dhe Uban. Ada pemain siter yang sudah puluhan tahun mengamen menyanyikan lagu Jawa dengan siternya, Roekini. Ada launching buku novel Amrike Kembang Kopi karya Sunaryata Soemardjo dan kumpulan cerita cekak Rembulane wis Bulan Dadari karya Sri Setya Rahayu. 
Hadir pula pengamat sastra Jawa dari Jogjakarta, Dhanu Priyo Prabowo yang banyak membantu PSJB menerbitkan buku. Ada juga Harry ‘Balung’ Guru yang  menggeluti arkeologi Bojonegoro selama puluhan tahun. 
Ada pula Agus, seorang arsitek asal Kalitidu yang saat ini tinggal di Jogjakarta. Agus sedang menggarap buku tentang Samin. Buku itu adalah sketsa kehidupan Samin dan PSJB akan memberi naskah sketsa tersebut. 
Buku ini adalah terobosan baru. Yakni menggabungkan sketsa dengan tulisan. Harapannya, buku dapat menjadi dokumen dari kehidupan sehari-hari Samin. 
Mereka para pegiat menguri-uri kebudayaan Jawa ini tulus mencintai Bojonegoro. Mereka hanya ingin Bojonegoro tetap menjadi bagian penting dari proses sejarah kebudayaan Indonesia.  Yakni, proses memanusiakan manusia. Bukan menjadi skrup dari mesin kapitalisme. Sekali lagi, inilah yang saya sebut sebagai ‘perlawanan kecil’ terhadap arus besar kapitalisme yang mulai deras     
Pembaca yang budiman, tentu saja menggeluti sastra Jawa bukanlah bidang yang bergelimang uang. Tak ada sponsor besar dan perusahaan yang mau mengeluarkan dananya untuk ikut menjaga sastra Jawa.  
Justru mereka para pegiat sastra Jawa harus berkorban untuk terus menguri-uri kebudaayaan dan sastra Jawa. Bojonegoro sesungguhnya harus bangga memiliki PSJB. Bangga bahwa PSJB masih menjadi garda depan menjaga sastra Jawa. 
Bangga karena penjaga sastra Jawa ternyata bukan di Solo dan Jogjakarta yang notebene adalah pusat kebudayaan Jawa. Namun, penjaga sastra Jawa justru adalah tanah ‘jajahan’ Kesultanan Jogjakarta. Yakni Bojonegoro ini. Dari PSJB, Bojonegoro menjadi barometer dari sastra Jawa di Indonesia. 
Menjaga organisasi yang minim dengan dana besar seperti PSJB bukanlan sesuatu yang mudah. Butuh stamina dan energi yang luar biasa untuk terus menjaganya. 
Prestasi PSJB yang ditorehkan selama ini untuk mengharumkan nama Bojonegoro juga. Sudah ada empat sastrawan Jawa asal Bojonegoro yang memperoleh penghargaan sastra daerah tertinggi di Indonesia, yakni Rancage. Mulai Djayus Pete, JFX Hoerry, Herwanto dan Yusuf Susilo Hartono. 
Bukan hanya itu, sudah ada puluhan buku sastra yang diterbitkan oleh PSJB. Terakhir adalah buku Djayus Pete, Kagara-gara, Kagiri-giri yang baru diterbitkan Juni lalu oleh Gus Ris Foundation. 
Sekali lagi, buku-buku itulah yang sesungguhnya menjadi bentuk ‘perlawanan kecil’ PSJB dari arus deras kebudayaan liyan. Kebudayaan liyan yang akan mengancam punahnya kebudayaan lokal. 
Lucunya, masyarakat kita adalah pandai berteriak kalau sudah merasa kehilangan. Ketika kebudayaan lokal  diakui negara lain, kita baru teriak dan mengumpat habis. 
Padahal sebagai pewaris sah dari kebudayaan itu, kita kudu menjaganya, menghargainya dan menghormatinya. Bukan hanya itu, kita juga harus berkarya. 
Sebagai barometer sastra Jawa di Indonesia, sudah saatnya Bojonegoro memiliki Pusat Dokumentasi Sastra Jawa. 
K.    Sejarah Agama-Agama di Bojonegoro
Penyebaran Agama Kristen di Bojonegoro 
Kapankah penyebaran  Kristen di Bojonegoro diawali? Tak tahu pasti. Namun, yang jelas penyebaran Kristen di Bojonegoro mungkin berbarengan dengan masuknya Belanda ke Bojonegoro sekitar tahun 1900-an. 
Tim pernah bertamu di rumah seorang warga di Gang Jiken, Bojonegoro. Namanya Gaguk Widodo Slamet Urip. Mungkin dia sudah lupa dengan saya, karena pertemuan saya dengannya cukup lama, sekitar tahun 2006. Pertemuannya pun tidak lama. Dalam obrolan yang hangat, dia menunjukkan kepada saya, sebuah Alkitab berbahasa Jawa. Tertulis tahun terbitnya adalah 1927. Diterbitkan oleh salah satu penerbit di Singapura. Alkitab tersebut merupakan warisan dari eyang buyutnya, yakni  Eyang Wedono Jiken. Dia adalah pejabat administratif pemerintahan di Blora. Namun, Eyang Wedono Jiken tempat tinggalnya di Bojonegoro yang sekarang dikenal sebagai Gang Jiken. Nama Jiken juga menjadi nama kecamatan di Blora. Di Gang Jiken, para penerus Eyang Jiken masih menjaga baik Alkitab tersebut meski hampir seluruh keluarganya adalah muslim.
Meski sudah terlihat kusam, namun Alkitab berbahasa kromo inggil tersebut masih terawat baik. Bagi anak muda seperti saya saat itu, membaca Alkitab dengan bahasa Jawa masih terasa asing. Karena terbiasa belajar Alkitab dengan berbahasa Indonesia.  Namun, saya merasakan  keasyikan membaca Alkitab dengan bahasa Jawa tersebut. Bagi saya, Alkitab berbahasa Jawa tersebut merupakan bukti penyebaran agama Kristen di Bojonegoro secara damai. Bahasa menjadi alat komunikasi yang efektif untuk menyebarkan agama secara damai. Dengan menggunakan bahasa Jawa, Alkitab akan lebih bisa diterima oleh masyarakat Jawa. 
Dari cerita cucu Eyang Jiken, Alkitab yang tertulis tahun 1927 tersebut merupakan pemberian dari pemerintah Belanda. Saat itu, tiap siswa yang belajar di sekolah Belanda mendapatkan Alkitab. Pada sekitar tahun 1920-an, Belanda menerapkan politik etis bagi rakyat Indonesia. Salah satunya melalui pendidikan. Namun, ada kemungkinan Alkitab tersebut merupakan peninggalan dari salah seorang keturanannya Eyang Wedono Jiken yang bernama Projo. Dia menikah dengan perempuan Belanda. Lalu menjadi pendeta dan tinggal di Kediri. Projo merupakan adik dari dr Sosodoro Djatikoesoma. Nama Sosodoro Djatikoesoema saat ini menjadi nama RSUD di Bojonegoro. 
Dugaan awal, kali pertama Kristen menyebar di Bojonegoro dari Dusun Kwangen Desa Leran Kecamatan Kalitidu. Hingga kini masih ada gereja GKJTU Maranatha yang masih berdiri di dusun yang dikenal sebagai kampung Kristen tersebut. Ada dua gereja di Dusun Kwangen yang berpenduduk sekitar 20 KK tersebut. 
Sesepuh Dusun Kwangen Sumomarni mengungkapkan, gereja di Dusun Kwangen sudah dibangun jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Bahkan masih ada lonceng gereja tua yang masih tersimpan hingga kini. 
Di Kwangen, bukan hanya komunitas Kristen saja yang domisili. Namun juga Islam juga mendirikan musala di Dusun Kwangen. Kehidupan beragama di Kwangen sangat rukun. Bahkan, dalam satu rumah, ada anak yang beragama Islam dan Kristen. 
Sedangkan persebaran Katolik di Bojonegoro kali pertama  diduga berasal dari Desa Kolong Kecamatan Ngasem. Persebaran Katolik di Bojonegoro diduga mulai 1940an. Katolik dan Kristen menjadi kekuatan penting di Bojonegoro untuk menjaga agar tetap kondusif. 
Para tokoh Kristen dan Katolik Indonesia yang berasal dari Jawa merupakan tokoh yang mampu berakulturasi dengan kebudayaan secara baik. Sebut saja, pahlawan nasional IJ Kasmo,  pastor Soegijapranata, dan Kiai Sadrach. Ketiganya merupakan tokoh agama yang mampu memahami kebudayaan Jawa secara utuh. Sehingga penyebaran Kristen mampu diterima secara baik dan damai oleh masyarakat Jawa. Mereka menggunakan bahasa hati rakyat, bukan bahasa kekuasaan.    
Begitu pula dengan penyebar agama Islam di Jawa. Para walisongo mampu membuktikan bahwa penyebaran Islam dengan akulturasi masyarakat Jawa membawa dampak positif yang luar biasa. Hampir semua agama di Indonesia melakukan penyebaran secara damai melalui pendidikan. Para wali juga mendirikan pesantren untuk menyebarkan Islam secara damai. Karena melalui pendidikan yang benar karakter manusia yang baik akan menemukan sisi kemanusiaannya. Bahkan Sunan Kalijaga harus berdakwah menyapa rakyat dengan bahasa musik yang mudah dipahami. 
Bojonegoro relatif menjadi salah satu daerah yang mudah menerima hal yang baru tanpa kekerasan. Kultur religi masyarakat Bojonegoro sebenarnya juga beragam. Namun, belum ada kasus kekerasan yang disebabkan agama. 
Asal usul masyarakat Bojonegoro dari orang Kalang hingga Samin merupakan penyebar kedamaian. Samin melawan Belanda dengan cara damai, yakni tidak membayar pajak tanpa melawan kekerasan. Meski Samin Surosentiko ditahan dan dibuang ke luar Jawa. Samin tak pernah mengajarkan kepada para pengikutnya melawan Belanda dengan kekerasan. Mengutip Rene Girard (Sindhunata,2008), kekerasan seperti lingkaran setan, dia akan terus terjadi jika kekerasan dibalas kekerasan. 
Karena itu, pendekatan yang komunikatif terhadap rakyat menjadi penting. Memahami dunia batin rakyat bukan sekadar bicara jargon kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, juga menyapa batin rakyat. Karena Jawa adalah dunia keseimbangan dan kedamaian yang berbahasa hati. Damai akan terwujud jika saling berendah hati, saling memahami. 
Menelusuri Jejak Persebaran Islam di Bojonegoro 
Padangan 
Keberadaan Kadipaten Jipang begitu kuat di tanah Rajekwesi (Bojonegoro). Termasuk hingga gugurnya Adipati Jipang, Aria Panangsang (adipati kedua) beserta para pengikutnya pada 1558 masehi.
Pasca gugurnya Aria Panangsang, benda-benda pusaka dari kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang. Saat itulah, kerajaan Pajang mulai berdiri. Namun, upacara penobatan berlangsung 1568 masehi. Praktis, Kadipaten Jipang menjadi bagian dari Kerajaan Pajang. 
Sultan Pajang Adiwijaya menetapkan Aria Mataram sebagai Adipati Jipang, yang tidak lain adalah adik dari Aria Panangsang, tapi dari ibu yang berbeda. 
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (hal: 76), saat menjadi seorang adipati, Aria Mataram mengutus seorang mubalig untuk mengajarkan agama Islam ke wilayah Jipang sebelah timur dan selatan Sungai Bengawan Solo. 
Mubalig belum diketahui identitasnya ini akhirnya dimakamkan di Desa Padangan, persisnya sebelah timur utara Jalan Padangan-Bojonegoro. 
Khanifuddin, salah satu ulama di Kecamatan Padangan, mengungkapkan, dulunya ada seorang ulama bernama Hasyim. Tapi, tidak diketahui siapa Mbah Hasyim, dan dari mana asalnya. Tapi, Mbah Hasyim memiliki gelar ketib Hasyim.  Menurut para sesepuh artinya penulis, penyalin, atau sekretaris. 
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (hal: 202), pusat penyebaran Islam abad XVI atau  masa kebesaran Demak, untuk wilayah Jipang berada di Padangan. Dan ulama besarnya, yakni kiai Hasyim. 
Kian Hasyim juga dikenal dengan sebutan Mbah Sinare. Menurut dia, kiai Hasyim memiliki masjid kecil dengan ciri-ciri denahya berbentuk persegi. Terletak di fondamen tinggi, mempunyai atap tumpang, petunjuk kiblat ditandai dengan mihrob memiliki serambi depan. 
Khanifudin membenarkan jika Mbah Hasyim memiliki langgar atau masjid kecil. Tapi belum ada kepastian apakah tempatnya sudah memiliki nama atau belum. 
Kiai Hasyim cukup gigih dalam berdakwah, hingga banyak masyarakat memeluk Islam. Meski saat itu, banyak penganut agama selain Islam.
Khanif sapaan akrabnya menceritakan, saat Mbah Hasyim mengambil air wudu di tepi Sungai Bengawan Solo, dari arah barat, ada sesuatu bergerak menuju ke arahnya. Mbah Hasyim pun penasaran, dan dilihat dengan cermat, ternyata yang datang adalah seseorang naik keranjang. Saat itu Mbah Hasyim bertanya kepada orang di keranjang tersebut.
Nah, orang di keranjang tersebut, kata dia, yakni Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma, atau Mbah Sabil. Kedatangan Mbah Sabil ke tanah Jipang karena dikejar oleh Belanda dari Kerajaan Mataram, sekitar abad XVII atau 1600-an masehi. 
Jika dikorelasikan dengan buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, Kerajaan Pajang mulai direbut oleh Kerajaan Mataram, sekitar 1586 atau 1587. Praktis, saat itu Jipang dibawah Adipati Jipang IV bernama Pangeran Benawa, menjadi kekuasaan Kerajaan Mataram. 
Khanif melanjutkan, saat merantau ke tanah Jipang, Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma menuju ke Dusun Jethak dan namanya diganti dengan Sabil, karena khawatir diketahui kolonial Belanda.  
Dari Jethak menyelamatkan diri ke Dusun Jumok yang lokasinya sebelah timur Ngraho. Setelah tinggal di Jumok, Mbah Sabil berencana pergi ke Ampel, Surabaya. 
Saat ke Ampel, Mbah Sabil menggunakan keranjang mata ero (keranjang berlubang biasanya digunakan mencari rumput). Saat perjalanan itu, konon Mbah Sabil banyak memberikan nama desa di daerah Padangan. Seperti Dengok, Demaan, Kalangan, dan Padangan.  Karena diminta Mbah Hasyim untuk tinggal di tempatnya, dan Mbah Sabil berkenan akhirnya desa itu disebut Kuncen. Sebab, kepergiannya ke Ampel dikunci oleh Mbah Hasyim. 
Keduanya berdakwah bersama dan menjadikan langgar (semula kecil) lalu dibangun ukuran besar dan pesantren. Lokasi masjidnya berada di Kuncen bagian utara dari Tugu Pahlawan ke arah timur laut. Hanya saja, saat ini tidak ada bekasnya karena terkikis air Bengawan Solo. 
Mbah Sabil meninggal terlebih dahulu. Dan dimakamkan tidak jauh dari masjid dan pesantren. 
Awalnya disebut Sarean Menak Anggrung, artinya makam orang terhormat (sarean Menak). Sedangkan anggrung maksudnya lokasinya menjulang tinggi di tepi Sungai Bengawan Solo. 
Cangaan, Pintu Masuk Islam lewat Bengawan 
Kapan Islam masuk ke Bojonegoro? Penanda Islam masuk di Bojonegoro salah satunya ditemukan di Desa Cangaan Kecamatan Kanor Bojonegoro. Yakni, masjid Nurul Huda yang dibangun pada 1263 Hijriyah atau 1771 Masehi. Kutipan tahun tersebut tertera dalam ukiran di dalam masjid.  Masjid ini satu abad lebih tua dibandingkan Masjid Darussalam di Kota Bojonegoro yang dibangun pada 1825 Masehi.  
Cangaan dulunya adalah sebuah desa yang terdapat dermaga untuk lalu lintas kapal yang melintas di Bengawan Solo. 
Menurut Untung, 92, warga setempat yang dulunya pernah menjadi tukang bersih-bersih masjid Nurul Huda, menceritakan, Desa Cangaan tergolong desa yang ramai. Sebab, pada zaman itu banyak orang Belanda yang mendirikan gudang untuk tembakau. Sehingga perekonomian di desa ini cukup maju. Ditambah pula dengan adanya aliran sungai Bengawan Solo yang digunakan sebagai jalur transportasi air untuk menuju ke Gresik dan Surabaya.  Ada gudang krosok tembako.  
Pernyataan itu dikuatkan dengan banyaknya bangunan tua yang ada di daerah tersebut. Bangunan yang memiliki ciri khas dengan saka penyangga yang besar. Selain itu, juga terdapat pagar yang mengitari rumah dengan ukuran yang cukup tinggi sehingga halaman rumah sampai tidak kelihatan. Selain itu, menurut catatan almarhum Sururi Djufri yang juga pernah menjadi takmir masjid Nurul Huda ini, di Desa Cangaan juga terdapat bangunan dari kayu jati bentuk bucu (berbentuk kuncup). 
Untung menjelaskan, menurut para sesepuhnya, sebelum berdirinya masjid Nurul Huda para penduduk sudah memeluk agama Islam. Namun, dia tidak bisa menjelaskan secara detail siapa yang membawa Islam di tanah kelahirannya itu. Selanjutnya, tutur dia, setelah kedatangan Ki Wirayuda kemajuan Islam cukup pesat. Dibuktikan dengan membangun masjid sebagai aktifitas ibadah. 
Hal yang sama juga tertulis dalam catatan almarhum Sururi. Dalam catatan itu tertulis sebelum Ki Wirayuda menetap di Cangaan. Desa tersebut sudah dihuni oleh Kyai Polo atau disebut Kiai Setro Sukun. Beliau adalah putra dari hasil perkawinan antara Buyut Marjoyo (Martojoyo) yang berasal dari Solo dengan Nyai Marjoyo dari Ngawi. 
Untung menceritakan, awalnya, Ki Wirayuda yang masih memiliki keturunan dengan kerajaan yang ada di Solo ini, ikut hanyut dengan menggunakan gethek atau rakit. Kemudian, hidup bersama dengan warga Cangaan dan sekitarnya.  Lalu menikah dengan perempuan orang Cangaan.  
Dalam menyiarkan Islam, lanjut Untung, Ki Wirayuda kadang mendatangi rumah penduduk untuk mengajarkan ngaji Alquran. Kemudian, pada Jumat setelah menunaikan salat Jumat juga ada pengajian. Metode yang digunakan dengan cara ceramah. Dia menggambarkan, murid-murid yang ingin mendengarkan petuahnya duduk bersila dihadapan Ki Wirayuda. 
Kemudian, lanjut dia, ada beberapa murid yang juga meneruskan perjuangan Ki Wiroyudo. Diantaranya, Nursyam, Abdul Hamid, Hasyim, dan Sidiq. Keempat murid Ki Wirayuda tersebut telah bergelar haji.  
Dari Cangaan Menyebar ke Balen  
Persebaran Islam di Desa Cangaan Kecamatan Kanor, sebelum kehadiran Ki Wirayuda. ada seorang yang bernama Buyut Tibah. Ketua Takmir Masjid Nurul Huda, Abdul Hakim, sesuai dengan catatan almarhum Sururi, Buyut Tibah adalah seseorang yang dermawan. Selain dermawan, Buyut Tibah juga dikenal sebagai seorang kiai dan pemuka agama Islam.  
Lokasi sawahnya di Desa Cangaan. Luasnya sekitar 1 hektare. Hasil dari sawah Tiban tersebut hingga kini diberikan ke masjid Nurul Huda. 
Asal mula buyut Tibah, bagi penduduk tidak diketahui asal-muasalnya yang pasti. Dalam catatan almarhum Sururi pun juga tidak ditemukan siapa sebenarnya buyut Tibah ini. Hanya tertulis, buyut Tibah diperkirakan adalah orang yang bernama Tibah yang ikut dalam perahu rakit bersama Daulat dan Seco (bersama Ki Wiroyuda). 
Hal ini berdasarkan keterangan yang menyatakan Nyai Tibah (istri buyut Tibah) adalah saudara buyut Nyai Martoyudo (ibu Ki Wirayuda). Namun ketenaran buyut Tibah bagi warga masyarakat sudah tidak asing lagi. 
Diketehui sebelumnya, di Desa Cangaan sudah tinggal Kyai Polo atau disebut Kiai Setro Sukun. Beliau adalah putra dari hasil perkawinan antara Buyut Marjoyo (Martojoyo) yang berasal dari Solo dengan Nyai Marjoyo dari Ngawi. Seiring berjalannya waktu akhirnya Nyai Setro Sukun meninggal dan akhirnya, Kyai Setro Sukun menikah dengan iparnya sendiri yang bernama Beruk dan lahirlah haji Abdul Majid yang menjadi menantu Buyut Tibah. 
Hakim menambahkan, dalam catatan almarhum Sururi tertulis, Ki Wiroyudo menikah dengan anak dari Buyut Tibah yang bernama Karimah atau juga disebut Biyung Badri. Secara otomatis, saat berada di Cangaan Ki Wirayuda mendapatkan banyak tambahan ilmu dari Buyut Tibah. 
Sehingga, dengan keberadaan Ki Wirayuda dalam keluarga Buyut Tibah ini menambah kekuatan untuk menyebarkan Islam. Sebab, Ki Wirayuda adalah seorang pemuda yang sangat terampil dan idealis. Ditambah pula dukungan dari menantu buyut Tibah lainnya, Kiai Setro. Dari dukungan itulah, akhirnya mewujudkan masjid untuk media dakwah.  
Diakhir hayatnya, Ki Wiroyudo dimakamkan di desa setempat dengan berdampingan dengan murid-muridnya serta keluarganya. Makam, Ki Wiroyudo terlihat seperti makam kuno karena nisannya diduga terbuat dari batu kuno yang berukiran seperti masjid. 
Selain mendirikan masjid, juga meluaskan ajaran Islam daerah lain. Salah satu caranya adanya beberapa tokoh-tokoh yang menimba ilmu ke Cangaan dan akhirnya membuat sebuah lembaga pendidikan.   
Dia juga menjelaskan, persebaran Islam yang ada di Cangaan berlanjut ke wilayah Sekaran Balen. 
Ditemui terpisah, Abdul Qodir, selaku dewan penasehat Masjid Sekaran membenarkan jika sesepuh pendiri masjid di Sekaran ini masih memiliki hubungan keluarga dengan Ki Wiroyudo Cangaan. Beliau adalah Kyai Abdul Qodir Jailani atau disebut juga Raden Citroyudo.  ‘’Beliau (eyang Jailani) adalah menantu dari Wiroyudo,’’ terang dia. Masjid di Sekaran Balen dibangun pada 1795 Masehi.  
Sejarah NU di Bojonegoro
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam (ormas) terbesar di negeri ini. Selain itu, juga mempunyai basis pengikut terbesar di Jatim. Karena hampir semua tokoh pendirinya juga berasal dari pulau Jawa bagian Timur ini. Lantas kapan NU mulai menyebar di Bojonegoro.
Menurut Mustayar PC NU Bojonegoro, Anas Yunus mengatakan, pertama kali NU masuk di Bojonegoro melalui jalur barat. Tepatnya dari Kecamatan Padangan, karena letak wilayah tersebut merupakan jalur strategis. Merupakan persimpangan jalan raya antara Bojonegoro dengan Ngawi dan Blora. Jalur tersebut digunakan KH Abdul Wahab Chasbullah (salah satu pendiri NU) untuk memperkenalkan NU kepada para kiai. Padangan saat itu merupakan wilayah yang sangat sangat penting, terutama sebagai pusat penyebaran agama Islam. Sekitar 1930, KH Abdul Wahab Chasbullah itu sering mengadakan silaturrahmi dengan beberapa kiai di Kudus, salah satunya dengan KH Asnawi (Kudus).
Sepulang dari Kudus, KH Wahab melewati  Pati, Rembang, Blora, Cepu, Padangan, Bojonegoro, dan Babat. KH Wahab selalu singgah di daerah yang terdapat pondok pesantrennya. 
Kebetulan di Padangan ada pondok Jala’an yang cukup dikenal dibawah asuhan KH Hasyim. Karena pengaruh KH Wahab itulah berdirilah NU di Padangan pada 1938. Sedangkan di Bojonegoro masih belum ada pondok pesentren. Karena itulah maka NU pertama kali berdiri di Padangan. NU berkembang lalu di Kecamatan Kasiman, Ngraho, Tambakrejo, Purwosari, dan lainnya. Sehingga keberadaan NU di Padangan cukup membantu berdirinya NU di Bojonegoro. Terbukti pada sekitar 1950, KH. Soleh Hasyim (putra KH Hasyim) memperkenalkan NU ke kalangan pondok warga kota Ledre. KH Soleh Hasyim lalu menjadi Imam Khotib di Masjid Agung Bojonegoro. 
Secara struktur, NU di Bojonegoro mulai berdiri pada 1953. Yaitu saat KH Rachmat Zuber dari pesantren Al Falah Mangunsari, Tulungagung menjadi Imam Masjid Agung Bojonegoro dan merangkap Sekolah Putri Islam (SPI). KH Rachmat kali pertama menjadi menjadi Tanfidziyah PC NU Bojonegoro. Hal tersebut juga didukung dengan NU melepaskan diri partai Masyumi dan mendirikan partai sendiri.
Setelah itu, KH Rachmat lebih mengintensifkan pertemuan dengan pada kiai dan pondok di Bojonegoro, dengan mengadakan dialog dan ceramah agama. Sehingga terbentuklah forum para ulama yang terdiri dari beberapa kiai dari berbagai wilayah di Bojonegoro. 
Perkembangan NU di Bojonegoro, tidak lepas dari jasa pendiri dan Tanfidyah PC NU Bojonegoro pertama kali, KH. Rachmat Zuber. Karena pada masa kepimpinannya, NU Bojonegoro menjadi partai yang disegani dalam waktu singkat, serta menuntaskan pembentukan MWC disetiap kecamatan bersama ranting.
Apalagi, sejak terpilih menjadi ketua DPRD Bojonegoro selama periode (1955-1960), mampu mewujudkan impiannya memberikan peninggalan yang berarti bagi warga Nahdliyin, yakni berupa kompleks pendidikan yang direncanakan untuk sekolah PGA, SMP, dan Diniyah. Serta asrama di Desa Sukorejo, Kecamatan Bojonegoro atas nama PBNU.
Dan sebuah gedung Madrasah Ibtidaiyah NU untuk PC NU Bojonegoro. 
Belum sampai gedung tersebut diresmikan, lanjut  penggunannya KH Rachmat keburu meningglkan Bojonegoro kembali ke Tulungagung untuk memenuhi panggilan mertuanya KH R. Fattah untuk memimpin pondok pesantren Mangunsari, Tulungagung. Kemudian pada 1961, diadakan musyawarah PC NU Bojonegoro, hasilnya  menunjuk M Dimyati sebagai tanfidziyah PC NU Bojonegoro periode (1961-1967).
Saat kepimpinan M Dimyati ini, peran NU lebih banyak berperan sebagai partai politik, semenjak keluar Masyumi 1952. Apalagi saat zaman orde lama, NU mempunyai peran yang begitu besar di negeri ini, tepatnya sejak pemerintah membubarkan PKI, kemudian keluar keputusan PBNU pada 5 Oktober 1965 tentang pembubaran PKI dan mengutuk serangan G 30 S PKI. Banyak warga NU Bojonegoro yang menjadi korban.
Selanjutnya, AA Taufik menjabat sebagai Tanfidziyah PC NU Bojonegoro (1968-1974). Saat kepimpinanya, peran NU tidak lagi sebagai parati politik, melainkan sebagai organisasi sosial. Berdarkan keputusan pemerintah orde baru yang menyederhanakan partai bersadasarkan UU partai 1975. Kemudian bergabung ke PPP, merupakan kumpulan dari berbagai partai islam.
Semenjak itulah, PC NU Bojonegoro lebih banyak menangani aset-aset NU yang hilang, khususnya lembaga pendidikan. Dibawah kepimpinan Chotim AA (1978-1980), setelah dilakukan pendataan sekitar 20 persen madrasah Maarif yang tidak daftar ulang. Karena banyak yang beralih ke pemerintah, maka tinggal 50 persen yang mengikuti standar pendidikan lewat ujian Maarif.
Karena itulah harus dicarikan konsep pembangunan untuk membangkitkan kembali perjuangan NU pada awal berdiri. Kemudian, saat kepimpinan KH. Ali Syafi’I (1986-1989) pendataan asset terus dilakukan. Serta minta kepada PPLP Ma’arif agar gedung maarif di Bojonegoro dikelola sendiri. 
Serta juga mendirikan perguruan tinggi islam Universitas Sunan Giri (STAI Sunan Giri), tujuanya untuk mempersiapakan guru-guru bagi madrasah Ma’arif. Kemudian, semangat itulah diterusakan kepengerusan periode selanjutnya (PC NU Bojonegoro 1989-1992). Kepimpinan KH Achwan Affendi, NU Bojonegoro mempunyai RS Muna Anggita dan mendirikan penampungan anak asuh ‘’Nurul Rohmah’’. Dua lembaga itu dibawah Muslimat NU Bojonegoro.  

Sejarah Muhammadiyah di Bojonegoro 
Bojonegoro tidak lepas dari dua organisasi islam (ormas) terbesar di negeri ini, yakni Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Dua ormas ini mempunyai pengaruh besar bagi masyarakat. Khususnya bagi sejarah di Bojonegoro mulai zaman hindia belanda hingga reformasi. Lantas kapan dua oramas tersebut mulai masuk ke Bojonegoro?
Menurut sumber, secara organisasi Muhammadiyah di Bojonegoro berdiri pada 1952. Saat itu, Mashudi sebagai pemimpin pertama kali yang mendirikan. Selama sepuluh tahun dia menjabat dan membesarkan Muhammadiyah di Kota Ledre. ‘’Ustadz Mashudi yang pertama kali menjabat, menurut dari beberapa cerita,’’ kata Penasehat Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Bojonegoro, Hasan Anwar. 
Namun, sebenarnya gerakan Muhammadiyah sudah masuk ke wilayah Bojonegoro sejak tahun 1947. Kepastian itu, adanya beberapa masyarakat yang sudah kenal Muhammadiyah. Terutuma masyarakat Bojonegoro bagian timur, karena beberapa orang dari Kecamatan Baureno, Kanor, dan Sumberrejo ikut pengajian di di Cabang Muhammdiyah Babat, Lamongan.
Sementara Muhammadiyah di Lamongan lebih awal berdiri sejak 1926, yang dirintis oleh H. Sa’dullah yang berpusat di desa Blimbing Paciran. ‘’Berdasarkan hal ini ada kemungkinan besar gerakan Muhammadiyah di Bojonegoro sudah ada sebelum tahun 1947,’’ ujarnya.
Meski demikian, lanjut Anwar, belum ada pergerakan Muhammadiyah secara terbuka. Muhammadiyah lebih banyak digunakan untuk dirinya sendiri. Salah satunya Ustadz Bukhori warga Desa Drajat, Kecamatan Baureno. ‘’Beliau (Bukhori), termasuk orang pertama kali mengikuti pegerakan Muhammadiyah,’’ ungkapnya.
‘’Selain itu, beliau berasal dari Jogyakarta (Pusat Muhammadiyah berdiri),’’ imbuhnya. 
Baru kedatangan Mashudi, Muhammadiyah dikenal orang banyak. Dia merupakan orang asli Bojonegoro yang melalang buana sampai keluar Jawa tepatnya di daerah Palembang (Sumatera), karena dikejar-kejar penjajah. Pada saat menyelamatkan diri ke Palembang beliau sempat berkawan dengan tokoh Islam terkenal diantaranya Buya Hamka.
Pertemuan dengan tokoh besar ini, kemudian membawa Mashudi bergabung dalam Hizbul Wathon (HW) dan sekaligus menjadi salah seorang anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sehingga memungkinkan beliau untuk mengembangkan diri dan mengemban misi persyarikatan di Bojonegoro.
Terpisah, Ketua  PD Muhammdiyah Bojonegoro, Zainuddin mengatakan, karena Negara sudah merdeka dan keadaan mulai kondusif, maka pada 1947 Mashadi memilih tinggal di Bojonegoro. Apalagi kondisi kesehatannya kurang sehat, kemudian dimanfaatkan untuk mulai merintis amal usaha panti asuhan dan Sekolah Rakyat Islam (SRI) yang dipusatkan di Sumberrejo.
Kemudian 1952, Mashudi pindah ke wilayah kota Bojonegoro dan mengembangkan langkah yang lebih besar dengan membentuk Muhammadiyah cabang Bojonegoro yang berpusat di kota Bojonegoro.
Sampai akhirnya terjadi masa peralihan kepemimpinan dari Mashudi kepada Abu Arifaini pada Agustus 1962. Karena kondisi fisik Mashudi menurun. Kemudian pergerakan Muhammadiyah pada periode ini sudah nampak. Kegiatan dakwah melalui pengajian pada periode ini cukup gencar dilakukan oleh mubaligh–mubaligh muda dari Jogjakarta. 
Apalagi, pada periode ini (1962-1970) ada tokoh Muhammdiyah dari Gresik yang merupakan kader HW yaitu Tamsyi Tedjo Sasmito menjabat sebagai Bupati Bojonegoro, memberikan andil yang besar untuk membesarkan Muhammadiyah Cabang Bojonegoro, kemudian keberadaan Cabang Bojonegoro mengalami perubahan menjadi daerah yang berdiri sendiri sejak 1967.
Selanjutnya pada kepimpinan Machfud Muharrom (1970-1978), Muhammadiyah pada masa ini diarahkan pada pengembangan sekolah Muhammadiyah yang sudah berdiri, di sekitar wilayah Sumberrejo, Kanor, Kedungadem, Sugihwaras, Kapas, Baureno dan Balen. 
Prestasi yang menonjol diantaranya adalah gerakan untuk menyadarkan kaum tradisionalis agar menjalankan ajaran agama Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Selain itu, berhasil merintis Balai Pengobatan Ibu dan rumah Bersalin (BPRB) yang berlokasi di sebelah barat Alun-alun kota Bojonegoro. BPRB saat itu juga juga digunakan sebagai kantor PD Muhammadiyah pertama kali. 
Penyebar Islam di Bojonegoro
Sunan Blongsong
Ada banyak jejak religi yang mengisahkan syiar agama Islam di wilayah Bojonegoro. Salah satunya peran Sunan Blongsong di Desa Blongsong, Kecamatan Baureno  
Menuju Desa Blongsong, Kecamatan Baureno, cukup mudah. Karena, berada tidak jauh dari Jalan Raya Bojonegoro-Babat. Sehingga, bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu, hampir seluruh jalannya dipaving.
Tetapi, ada yang anehnya. Saat memasuki desa tersebut, tidak ada papan nama atau tugu desa. Sebaliknya, hanya terdapat papan penunjuk arah bertuliskan Sunan Blongsong. Hanya berjarak sekitar 200 meter, kembali dijumpai tulisan hampir sama. Kali ini, tulisan itu berada di pintu gapura makam.
Ya, makam yang terletak di timur jalan itu menjadi tempat peristirahatan sesepuh desa setempat. Lokasinya berada di tempat khusus. Masyarakat desa setempat menyebutnya cungkup. 
Dalam bangunan berukuran 6 x 7 meter itu tak hanya terdapat makam Sunan Blongsong. Melainkan ada delapan makam lainnya. Untuk membedakan dengan makam lain, makam Sunan Blongsong dibungkus kain putih.
Sunan Blongsong masih menyimpan misteri sampai kini. Sebab, ada berbagai versi asal-usul Sunan Blongsong. Bahkan, nama aslinya pun diduga lebih dari satu. Ada yang menyebutnya sebagai Raden Syekh Syamsudin. 
Ada juga yang menyebut Raden Syekh Marjuki. Terakhir, ada yang menyebut Kanjeng Adipati Banusumitro dan Raden Syekh Nur Sahid.
Meski terdapat berbagai versi, masyarakat memercayai Sunan Blongsong merupakan keturunan Sunan Kalijaga. 
Versi lain Sunan Blongsong, merupakan prajurit Kerajaan Mataram yang melarikan diri. Saat itu, Mataram terpecah menjadi dua. Ada yang pro dengan pemerintah Belanda. Ada juga yang melawan Belanda. Sunan Blongsong termasuk yang melawan. 
Kemudian, dia melarikan diri sampai ke desa setempat. Di situ, Sunan Blongsong tidak hanya membangunan kekuatan melawan tentara Belanda. Tapi, juga menyebarkan agama Islam. Sehingga, pengikutnya sangat banyak. 
Sunan Blongsong dikenal sangat sakti. Ketika tentara Belanda mencarinya, selalu tak menemukan karena bisa menghilang, Karena itu nama Baureno disebut Bowerno yang artinya tidak kelihatan.
Sedangkan soal nama Sunan Blongsong, masyarakat desa setempat tidak mengetahui secara pasti. Bahkan, nama Sunan Blongsong baru muncul sekitar sepuluh tahun terakhir. Saat itu, masyarakat setempat penasaran ingin mengetahui nama asli sesepuh desanya. Selain itu, juga sering digunakan tempat ziarah warga dari luar kota. 
Berdasarkan Bunga Rampai Sejarah Bojonegoro, Sunan Blongsong merupakan anak Sunan Kalijaga. Dia diangkat menjadi bupati oleh Kesultanan Demak untuk memimpin Kabupaten Bowowarono. Pusat pemerintahannya di Dusun Sayang, Desa Blongsong. Terbentuknya Kabupaten Bojonegoro tidak bisa lepas dari kawasan wilayah timur. Salah satunya Kecamatan Baureno. Wilayah itu pernah dijadikan kabupaten. Saat itu bernama Bahuwarno. 
Ini terjadi pada masa berakhirnya Kerajaan Kahuripan, memasuki masa Kerajaan Dhaha (Kadiri). Hingga Singasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit, Periode pertama adalah masa akhir Kerajaan Kahuripan. Sebagaimana disebutkan, bernama Bahuwarno dengan pusat pemerintahan di Grenjeng, Desa Sraturejo, Kecamatan Baureno. Lokasi istananya berada di petilasan Sumur Nganten yang dirawat penduduk setempat.
Di kawasan ini terdapat sumur tua dan cungkup berupa bangunan terbuka tanpa dinding, tetapi terlindung atap genting. Warga setempat menghormati tokoh pepundhen itu dengan sebutan “Mbah Krebut” pengejawantahan dari Prabu Basunondo.
Setiap tahun, seusai panen padi, masih digunakan sebagai tempat sedekah bumi (nyadran). Sumur di lokasi tersebut selalu dikunjungi pasangan pengantin yang baru saja mengucapkan ikrar ijab kabul (akad nikah). Mereka akan membasuh muka, tangan, dan kaki bersama pasangannya secara bergantian. ”Tujuannya adalah agar pernikahannya awet dan terhindar dari cobaan,” ungkapnya.
Kalau ini diselaraskan sejarah, lanjut dia, Bahuwarno berkisar pada masa pemerintahan Prabu Kertajaya di Kadiri (1182-1222). Atau, seiring berakhirnya tampuk kekuasaan Kertajaya karena ditaklukkan oleh Ken Arok yang sebelumnya merebut tahta Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. ”Akuwu adalah kedudukan setingkat bupati yang lazim diterapkan pada masa Kertajaya,” jelasnya.
Kemudian, berubah pada masa Kasultanan Demak (1475-1548). Termasuk wilayah Kadipaten Jipang, dengan nama Kabupaten Bowowarono, yang pusat pemerintahannya di Dusun Sayang, Desa Blongsong. Yang menjadi bupati adalah salah seorang putera Sunan Kalijaga yang bernama Raden Nur Syahid Murdonegoro dengan gelar Kanjeng Adipati Banusumitro.
Kesaktian tokoh yang diyakini warga sebagai wali sebutan untuk kanjeng sunan) ini bisa menghilang. Bekasnya berupa jubah atau blongsong (bahasa Jawa yang berarti selongsong atau bungkus). Sehingga, akan dijadikan asal mula nama Desa Blongsong.
Kanjeng Adipati Banusumitro memerintah hingga akhir hayatnya. Serta, dimakamkan di astono (penduduk setempat menyebut makam sentono) yang terletak di Desa Blongsong. Kedudukan sebagai bupati dilanjutkan puteranya sendiri yang bergelar Adipati Singoyudo.
Hingga sekarang, pusat pemerintahan Kabupaten Bowowarono di Dusun Sayang, Desa Blongsong, Kecamatan Baureno, masih dapat dilihat peninggalannya. Yakni, berupa batu umpak (pondasi tatakan) untuk empat tiang besar yang disebut sokoguru. 
Tidak jauh dari situ terdapat sebongkah batu besar yang terpendam sebagian, sepertinya sebuah prasasti. 
Bukti pusat pemerintahan pada Kesultanan Demak juga dapat dilihat dari nama-nama dusun di Desa Blongsong. Antara lain, Dusun Mantren (tempat tinggal para mantri) dan Dusun Landar (asal kata Landrad, tempat hukuman atau penjara). 
Serta, Pasar Sarayang, sekarang berubah menjadi Dusun Sayang. ”Dusun itu letaknya berdekatan. Kalau dilihat dari letaknya sama seperti model pusat pemerintahan Demak,’’ ujar pria yang juga tim ekspedisi Bojonegoro itu.
Memang tidak terlalu banyak peninggalan Sunan Blongsong yang dapat dilihat sekarang. Di an                                        a tetenger yang masih dapat dilihat adalah batu dan prasasti tersebut. Selain itu juga ada Sendang Co. Lokasinya tidak jauh dari makam Sunan Blongsong.  
Sendang tersebut dipercaya sebagai tempat mandi sunan. Dulu, warga Desa Blongsong memanfaatkannya sebagai tempat mandi dan mencuci pakaian. Bahkan, pernah dibangun tempat mandi khusus karena airnya tidak pernah kering, meski musim kemarau. 
Wali Kidangan
Selain di Baureno, jejak-jejak penyebaran Islam Di Bojonegoro juga ada di Malo, yaitu Wali Kidangan. 
Makam Wali Kidangan ada di Desa Sukorejo, Dusun Kidangan, Malo. Lokasinya tidak jauh. Dari jembatan Malo yang menjadi ikon Kecamatan tersebut jalan lurus ke utara. Sebelum masuk lokasi, ada tugu yang dibangun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro sebagai tanda pintu masuk. 
Dari gapura tersebut perjalanan bisa dilanjutkan menggunakan motor Sebab, jalan untuk menuju lokasi makan Wali Kidangan cukup menanjak. Jarak antara gapura menuju ke makan Wali Kidangan masih sekitar 3 kilometer (km). 
Sampai di area makam, perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Motor sudah tidak mungkin menempuh perjalanan tersebut. Sebab, para peziarah harus berjalan menyusuri anak tangga. Perjalanan menyusuri anak tangga tersebut cukup melelahkan. Panjang tangga untuk mencapai atas bukit dimana lokasi makan Wali Kidangan tersebut sekitar 1 km.
Sesampai diatas, ada sebuah musala berdiri kokoh. Musala tersebut sering digunakan para peziarah untuk beristirahat sejenak ketika lelah mendaki. 
Makam Wali Kidangan lokasinya tidak jauh dari musala tersebut. Namun, untuk mencapainya harus harus menapaki tangga lagi. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya 100 meter.
Di areal makam sudah ada beberapa warga yang sedang berziarah. Mulut mereka dengan kyusuk membaca Surat Yasin bersama-sama. Selesai membaca Surat Yasin mereka lalu berdoa bersama. Kepala Desa Sukorejo, Malo Munawaroh menjelaskan, tidak banyak orang yang mengetahui bagaimana sejarah Wali Kidangan. Sebab, tidak ada catatan yang menyebutkannya. Sehingga tidak banyak orang yang mengetahui bagaimana asal-usul Wali Kidangan sampai ada di Malo. 
Namun, lanjut Munawaroh, berdasarkan cerita yang berkembang dari orang-orang terdahulu, Wali Kidangan adalah salah seorang alim ulama. Dia sempat menyebarkan Islam di Desa Sukorejo dan beberapa wilayah Malo. ‘’Ada juga yang mengatakan dia adalah salah satu prajurit kerajaan Demak yang bersembunyi disini karena di kejar Belanda. Lalu menyebarkan Islam sampai wafat dan dikubur disini,’’ jelasnya.
Siapa sebenarnya Wali Kidangan yang makamnya ada diatas bukit Kidangan Dusun Kidangan, Desa Sukorejo, Kecamatan Malo masih misteri. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui asal-usul Wali Kidangan tersebut. 
Namun, warga sekitar meyakini bahwa Wali Kidangan adalah seorang ulama besar dari kesultanan Pajang yang merupkan kelanjutan Kerajaan Demak, Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Syeh Mukodar. Karena lama bermukim di bukit Kidangan, maka lama-lama dia dikenal sebagai Wali Kidangan orang warga sekitar. Namun, adapula yang menyebutnya Pangeran Kumbang Ali-Ali. Ada banyak versi tentang mbah Wali Kidangan ini.
Meskipun masih belum banyak orang yang mengetahui asal usulnya secara pasti, namun hal tersebut tidak membuat peziarah makam Wali Kidangan di Dusun Kidangan, Desa Sukorejo, Malo sepi. Bahkan, pada hari tertentu sangat ramai.
Ada hari khusus yang biasanya ramai peziarah, yaitu Kamis Legi dan Jumat Pahing. Dua hari itu, biasanya ada juru kunci yang menunggu disana. Selain dua hari itu, tidak ada juru kunci yang menunggu disana. 
Sejak 2002 silam, juru kunci makam Wali Kidangan sudah berganti sebanyak 4 kali. Pergantian tersebut karena berbagai sebab. Misalnya karena meninggal dunia atau karena ada masyarakat yang tidak cocok sehingga harus diganti. Sebab, penetapan juru kunci tetap dilakukan melalui musyawarah warga. 
Menurut Munawaroh, Wali Kidangan bukanlah warga asli Desa Sukorejo. Bahkan, bisa dikatakan dia adalah ulama keturunan arab. Sebab, melihat makamnya yang cukup panjang (sekitar 2 meter) tidak mungkin orang Jawa. Diduga Wali Kidangan adalah  keturunan Arab.
Keyakinan tersebut diperkuat dengan adanya makam disebelah timur makam Wali Kidangan yang bertuliaskan arab. Namun, hingga kini makam yang ada di sebelah timur makam Wali Kidangan tersebut juga belum diketahui makam siapa. Namun, warga meyakini itu adalah makam keluarga Wali Kidangan. 
Tahun berapa Wali Kidangan hidup? Tidak ada yang tahu pasti. Namun berdasarkan makam yang bertuliskan arab tersebut bisa disimpulkan bahwa Wali Kidangan hidup sekitar 1800-an.
Berdasarkan cerita, Wali Kidangan mempunyai seorang adik bernama Zakaria. Lokasi makam Wali Zakaria tersebut tidak jauh dari lokasi makam wali Kidangan. Tepatnya di Desa Tinawaun. Kedunya diyakini sebagai ulama besar dari Kerajaan Pajang.
Hal tersebut memperkuat bukti bahwa penyebaran ajaran Islam juga ada di wilayah Bojonegoro barat. Sebab, ada dua makam ulama besar yang ada di Malo. 
Sayangnya Wali Kidangan tidak meninggalkan  masjid atau pesantren di Desa Sukorejo, Malo sebagai sarana dakwah Islam. Sehingga, catatan tentangnya hingga kini masih sangat minim. Cerita siapa sebenarnya Wali Kidangan hanya diceritakan secara turun temurun. tuturnya. 
Raden Sasrakusuma
Menelusuri jejak Islam di tanah Rajekwesi (Bojonegoro) tidak bisa dilepaskan dari Kadipaten Jipang. Sebab, pada abad ke-16 saat Demak mulai menggantikan kedudukan Majapahit yang bercorak Hindu. Sehingga, dengan begitu wilayah Kadipaten Jipang juga mulai menyebar oleh unsur-unsur Islam. Wilayah Jipang pada masa itu adalah Cepu (Blora) dan Padangan (Bojonegoro) serta wilayah sekitarnya. 
Cepu dan Padangan adalah dua kecamatan beda kabupaten yang saat ini berdampingan. Karena itu, tak menutup kemungkinan jika dulu Cepu dan Padangan berada dalam satu wilayah. 
Menurut buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (1988), Jipang terkenal dengan hasil hutannya berupa kayu jati. Bukan hanya itu, kualitas kayu jati dari Jipang adalah yang terbaik. Sehingga, kayu jati dari hutan kadipaten Jipang dapan digunakan untuk membuat rumah dan kapal. Kepopuleran Jipang akan hasil kayunya tidak hanya terdengar di Jawa saja tapi di luar Jawa juga banyak dikenal. Misalnya Sumatera. 
Adipati Jipang yang pertama adalah Pangeran Sekar Kusuma. Dia dikenal sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen yang masih keturunan dari kerajaan Demak. Pada saat itu pusat kadipatennya di Cepu.  Karena masih keturunan Demak, adipati ini sudah memeluk Islam. Buktinya, dia meninggal dibunuh saat salat Jumat. Selanjuntnya, Adipati Jipang diganti oleh anak Pangeran Seda Lapen, yakni Pangeran Aria Penangsang pada 1521 Masehi. Untuk menyempurnakan pengetahuan agama dan pemerintahan sang pangeran, dia berguru kepada Sunan Kudus. Hubungan keduanya antara guru dan murid sangat dekat sekali. Sehingga Arya Penangsang menjadi murid terkasih dimata sang wali. 
Nah, pada saat pemerintahan Arya Panangsang inilah diketahui sang adipati memiliki penasehat. Diantaranya Raden Bagus Nonong, Raden Rangga Atmajaya, dan Raden Rara Sekar Winang Rong, dan Raden Sasrakusuma. 
Menurut JFX Hoeri, budayawan yang tinggal di Padangan, salah satu penasihat  adipati yang bernama Raden Sasrakusuma atau dikenal Ki Ageng Rumeksakusuma pernah membuat pesanggrahan di daerah Padangan. Tepatnya ada di Desa Dengok Kecamatan Padangan. 
Raden Sosrokusuma ini juga termasuk murid dari Sunan Kudus. Saat itu, Raden Sosrokusuma saat ke Padangan melintasi Bengawan Solo.  Saat singgah Raden Sosrokusuma ini mengajarkan ilmu agama pada muridnya. 
Selain mengajarkan ilmu agama, Raden Sosrokusumo, kata dia, juga mengajarkan ilmu kanoragan. Sebab, pada saat itu masih banyak terjadi peperangan.  
Suatu saat Raden Sosrokusuma akan melakukan perjalan ke pusat kadipaten Jipang dari tempat pesanggrahannya di Desa Dengok.  Ketika dalam perjalanan dihadang oleh berandal.  Keduanya adalah Sura Batokan dan Sura Senori. Saat itu pula perkelahian ketiganya terjadi. Meski berandalnya berjumlah dua orang  akhirnya tertarungan itu bisa dimenangkan oleh Raden Sosrokusuma. Akhirnya dua berandal itu menjadi muridnya. 
Setelah pemerintahan kerajaan Demak di pindah ke Pajang oleh Jaka Tingkir menantu Sultan Trenggana, seiring berjalannya waktu kadipaten Jipang mulai melakukan perlawanan terhadap Pajang. Pada saat itu, Sunan Kudus sempat memanggil Adipati Pajang dan Adipati Jipang untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tapi akhirnya tidak menemukan jalan keluar dan terjadilah peperangan antara Pajang dan Jipang. 
Pada saat peperangan itulah akhirnya Adipati Aria Panangsang  gugur dalam pertempuran. Gugurnya sang adipati juga diikuti oleh Raden Sosrokusuma dan tiga penasihat lainnya. Para penasehat dimakamkan di Gedong Ageng Jipang, Cepu. 
Sedangkan, pesanggrahan yang ada di Desa Dengok Kecamatan Padangan ditandai dengan sebuah batu. 
Saat ini batu itu di beri pagar pembatas. Sedangkan disekelilingnya terdapat tempat lesehan. Lokasinya rindang karena di sekitarnya tumbuh pepohonan yang besar. 
Menurut warga sekitar, petilasan itu sekarang disebut dengan makam Mbah Raden.
PENUTUP
Sejarah Bojonegoro telah banyak ditulis oleh beberapa sejarawan. Baik peneliti dari dalam negeri maupun luar negeri. Kami hanya bagian kecil yang menyumbangkan perjalanan Bojonegoro panjang Bojonegoro ini. 
Kami yakin masih banyak yang harus diperbaiki dalam pendokumentasian ini. Kami yakin masih banyak yang harus dikembangkan lagi. 
Semoga pendokumetasian sejarah Bojonegoro ini menjadi investasi kecil bagi pengetahuan generasi Bojonegoro di masa mendatang.
  timakasih kawan sudah membaca blog saya nantikan cerita selanjutnya sampai jumpaaaaaa

4 comments:

  1. boleh bertanya? jika kita ingin mengetahui sejarah setiap tempat di bojonegoro, dimana kita bisa membacanya atau mencari tau kak? pasalnya saya tertarik dengan sejarah yang ada di bojonegoro yang belum banyak orang tahu. Rencananya saya ingin mengemas cerita sejarah tsb menjadi sesuatu yang menarik , mohon bantuannya. terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. dikecamatan margomolyo tepat nya di dusun jepang ada pejuang samin kak, kakak bisa datang dan tanya sendiri kakak datang saya ke kampung samin kak yang bertepat di dusun jepang, desa margomulyo ,kec margomolyo, kab bojonegoro

      Delete

  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete
  3. Selamat malam. Maaf sebelumnya kalau mengganggu, mau tanya. Adakah sumber referensi untuk masa bupati Jipang Ronggo Prawirodirjo III? Terima kasih

    ReplyDelete